Pandemi COVID-19 secara berkelanjutan terus memberikan dampak kepada segala sektor kehidupan. Salah satu yang tak luput adalah terganggunya upaya penanganan malnutrisi terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah atau low-income and middle-income countries (LMICs). Beberapa strategi sebagai respon guna menanggulangi persebaran infeksi COVID-19—seperti social distancing, penutupan sekolah, pembatasan ekspor-impor, juga lockdown wilayah—memberi dampak pada terdisrupsinya sistem produksi, distribusi, juga penjualan sumber-sumber makanan yang bergizi dan terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, strategi penanganan pandemi tersebut dalam implementasinya turut pula menginterupsi upaya kegiatan kemanusiaan, yang berimplikasi pada berkurang serta terbatasnya akses masyarakat berpenghasilan rendah kepada program dan layanan gizi. Banyak perhatian kemudian ditujukan kepada dampak yang mungkin ditimbulkan dari implementasi strategi penanganan COVID-19 kepada kondisi gizi ibu dan anak, sebagaimana terhambatnya upaya penanggulangan malnutrisi.
Kasus malnutrisi diestimasikan meningkat
Malnutrisi sejatinya dapat memperburuk dampak infeksi COVID-19 kepada ibu dan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Nadia Akseer et al. (2020) menjelaskan bahwa anak-anak dan orang dewasa dengan komorbiditas (penyakit penyerta) non-menular seperti diabetes, hipertensi, gizi buruk, dan obesitas sangat rentan mengalami kondisi serius hingga kematian akibat infeksi COVID-19. Perlu dicermati bahwa berdasarkan estimasi oleh Headey et al. (2020) tanpa penanganan tanggap dan serius, prevalensi anak-anak yang mengalami gizi buruk dapat meningkat hingga 14.3% selama 12 bulan pertama masa pandemi. Jika jumlah anak-anak usia dibawah 5 tahun yang mengalami gizi buruk di dunia saat ini adalah 47 juta, maka peningkatan 14,3 % tersebut setara dengan pertambahan 6.7 juta anak usia dibawah 5 tahun yang akan mengalami gizi buruk. Sebesar 80% dari angka tersebut terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan, dengan 10.000 kasus kematian per-bulan pada periode yang sama.
Realita tersebut diperburuk dengan data terkini laporan UNICEF, bahwa terjadi 30% penurunan cakupan program dan penyediaan layanan gizi di sejumlah LMICs selama bulan-bulan pertama masa pandemi. Pada konteks lockdown wilayah, angka penurunan tersebut jauh lebih besar hingga 75-100%. Situasi pandemi COVID-19 tentu menjadi ancaman bagi segenap program pengentasan malnutrisi. Jika tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin nyawa banyak anak dan ibu terancam akibat kondisi malnutrisi.
Faktor resiko
Terdapat beberapa faktor resiko yang meningkatkan angka kasus malnutrisi oleh ibu dan anak selama masa pandemi COVID-19. Faktor resiko yang pertama adalah kerawanan pangan. Pandemi COVID-19 memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan pangan. Dampak langsung dapat dilihat melalui skenario penutupan juga pembatasan operasional berbagi restoran. Meski skenario tersebut hanya merepresentasikan sejumlah kecil dari total ekonomi pangan di perkotaan, dampaknya terhadap lingkup rural dapat jauh lebih besar.
Pembatasan kegiatan produksi dan distribusi dapat meningkatkan harga komoditas. Kondisi seperti ini tentu menyulitkan sejumlah masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses bahan pangan yang segar dan bernutrisi. Sebagai alternatif, berkat terbatasnya akses terhadap bahan pangan yang segar dan bergizi, masyarakat berpenghasilan rendah akan berkencenderungan mengakses bahan pangan olahan kemasan yang kerap kali mengandung tinggi sodium, kurang bernutrisi, dan membawa konsekuensi buruk bagi kesehatan.
Faktor resiko yang kedua adalah terhambatnya penyaluran bantuan sosial utamanya kepada kelompok ibu. Penyaluran bantuan sosial kepada kelompok Ibu berpenghasilan rendah merupakan salah satu langkah yang ditempuh untuk menanggulangi kasus-kasus malnutrisi. Penyaluran bantuan sosial menjadi terhambat kemudian sebab langkah pemerintah untuk melakukan reprioritisasi pada penanganan pandemi. Hal ini akhirnya berakibat pada peningkatan kasus malnutrisi oleh kalangan keluarga berpenghasilan rendah.
Faktor resiko ketiga adalah semakin terbatasnya layanan kesehatan. Situasi pandemi mengubah sistem layanan kesehatan bekerja. Sementara kualitas pelayanan kesehatan merupakan tantangan yang berkelanjutan sebelum COVID-19, dalam kondisi saat ini dan seterusnya, upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan begi negara-negara LMICs yang paling membutuhkan kemungkinan akan mengambil kursi paling belakang. Hal ini tentu datang dengan konsekuensi serius peningkatan jumlah kasus malnutrisi oleh ibu dan anak. Data oleh departemen kesehatan negara Pakistan menunjukkan terjadinya penurunan akses dan penyediaan layanan perawatan prenatal. United Nations Populations Fund (UNEPA) menjelaskan bahwa penurunan akses dan penyediaan layanan prenatal dan keluarga berencana dapat berujung pada terjadinya 7 juta kelahiran tidak diinginkan di sejumlah negara-negara miskin di dunia. Disrupsi yang persisten dalam akses program serta penyediaan keluarga berencana dapat berdampak pada kelahiran prematur dan gizi buruk.
Faktor resiko yang terakhir adalah lingkungan rumah tangga yang tidak sehat. Berkenaan dengan reprioritisasi anggaran oleh pemerintah kepada upaya-upaya penanganan pandemi, rencana pembangunan lingkungan rumah tangga yang sehat dan aman seperti sanitasi yang layak, ketersediaan akses air bersih, dan hal-hal krusial lainnya dalam kondisi pandemi seperti ini mungkin akan tertinggal dalam agenda negara. Padahal infrastruktur pendukung kehidupan rumah tangga seperti air bersih dan sanitasi yang layak merupakan komponen kunci bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat.
Strategi yang dapat dipertimbangkan
Beberapa strategi dapat dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai upaya penanganan malnutrisi di masa pandemi. Pertama, terkait persoalan kerawanan pangan, akses terhadap bahan pangan bernutrisi, aman, dan terjangkau mesti dijamin oleh negara sebagai hal pertama dalam merespon pandemi COVID-19. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian perlindungan kepada produser, prosesor, distributor, dan penjual, mencegah dan melarang trade bans, serta merancang pasar pangan menjadi pelayanan yang esensial dan menjaganya untuk tetap terus berfungsi dan aman bagi penjual dan pembeli.
Kedua, investasi diperlukan untuk meningkatkan gizi ibu dan anak sejak masa kehamilan, masa bayi, dan anak usia dini dengan melindungi pemberian ASI, memasukkan program pembangunan infrastruktur penunjang kehidupan masyarakat (sanitasi layak, air bersih, dll) dalam agenda penanggulangan COVID-19, menjamin akses anak dan ibu kepada bahan pangan bergizi, serta penyediaan informasi yang akurat mengenai pemberian makan bayi kepada ibu/pengasuh.
Ketiga, layanan untuk deteksi dini dan pengobatan malnutrisi perlu diaktifkan kembali dan ditingkatkan, sementara tetap mempertahankan dan memperluas program pencegahan dan layanan gizi lainnya. Terakhir, perlindungan sosial untuk melindungi akses keluarga berpenghasilan rendah pada bahan pangan bergizi serta layanan kesehatan mesti tetap dijalankan. Skema semacam itu harus menjangkau keluarga dengan anak kecil dan wanita hamil dan menyusui.
Penulis/Editor : Rizka Sabriantoro – Asisten Peneliti Departemen Kemanusiaan dan Perdamaian, Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP Indonesia)
Foto Cover : Photo by Vitalii Pavlyshynets on Unsplash