Banjir sudah menjadi langganan Jakarta sejak zaman Belanda. Saking seringnya, saat ini dikenal mitos banjir lima tahunan, yang di antaranya terjadi pada tahun 2002, 2007, dan 2013.
Beragam upaya dilakukan untuk mencegah banjir. Namun, banyak yang masih berupa upaya jangka pendek, seperti sodetan Sungai Ciliwung hingga modifikasi cuaca.
Peneliti senior Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopaheluwakan, mengatakan perlunya upaya jangka panjang untuk membebaskan Jakarta dari banjir.
Dalam konferensi pers “Skenario Mengatasi Banjir Jakarta”, Kamis (23/1/2014), Jan memaparkan konsep pembangunan Jakarta agar bebas dari masalah banjir.
Salah satu langkah yang menurutnya penting adalah membawa masyarakat kelas menengah kembali tinggal di kota.
“Mereka yang menggerakkan ekonomi. Tapi, selama ini mereka tinggal di pinggiran Jakarta. Untuk tempat tinggal, mereka menyita ruang hijau,” kata Jan.
“Masalah lain yang muncul karena tinggal di pinggiran adalah soal transportasi yang juga soal polusi dan subsidi BBM,” imbuhnya.
Dengan membawa masyarakat kelas menengah kembali ke kota, ruang hijau untuk daerah serapan di wilayah selatan Jakarta bisa dipertahankan atau dikembalikan.
Jakarta, kata Jan, masih sangat mampu menampung warga yang berjumlah 9 juta. Yang diperlukan adalah rekayasa ruangan.
Singapura saat ini masih lebih padat dari Jakarta. Kepadatan penduduk mencapai 497 per hektar, sementara Jakarta hanya 207 per hektar.
Namun, kata Jan, ruang yang dipakai untuk hunian di Singapura jauh lebih rendah. Jakarta mencapai 65 persen total wilayah, sementara Singapura hanya 12 persen.
Agar bisa menampung warga dalam jumlah besar di wilayah yang lebih kecil, Jan memaparkan perlunya transformasi kampung atau hunian di Jakarta.
Hunian di Jakarta kini cenderung konvensional, horizontal, masih gaya kampung. Warga masih berpandangan bahwa memiliki hunian juga harus memiliki tanah.
Perlu ada perubahan sehingga hunian di Jakarta lebih menyesuaikan tantangan kota. Hunian masa depan bersifat vertikal.
Langkah lain yang diperlukan selain membawa masyarakat kelas menengah ke kota adalah mengelola air yang masuk di Jakarta.
Jan mengatakan, untuk mengelola air, solusinya bukan dengan membuat sodetan, melainkan dengan menyediakan ruang penampungan bagi air yang masuk.
Kosepnya, wilayah selatan Jakarta, dengan batasnya utaranya adalah Gambir, dibuat menjadi area penyerapan air atau ruang hijau.
Sementara wilayah Gambir ke utara dibuat menjadi ruang biru, di mana air dikelola dalam kanal-kanal.
Dua langkah lagi yang diperlukan adalah pengelolaan transportasi dalam kota serta pertahanan dari abrasi Laut Jawa dengan giant sea wall yang sudah direncanakan.
Waterfront city
Jan menyebutkan, pembangunan Jakarta bebas banjir bisa dilakukan dengan memulainya di sebagian wilayah Jakarta, misalnya di barat dan utara Jakarta.
“Batasnya dari Kali Pesanggrahan untuk di barat,” ungkap Jan yang menyebut model Jakarta itu sebagai waterfront city.
Dalam model itu, akan terdapat waduk buatan yang bisa menampung air sebanyak 10-15 juta meter kubik saat banjir.
Waduk bisa dibuat di wilayah Jakarta Barat yang kini selalu terendam. Jan mengatakan, studi sudah dilakukan dan pembuatan waduk itu memungkinkan.
“Di wilayah itu nanti kita bangun rumah susun, ada yang untuk kelas menengah atas dan ke bawah,” jelasnya.
“Di sana tidak ada mobil yang boleh masuk. Warga akan berhenti di pinggiran wilayah,, lalu akan naik transportasi publik yang disediakan. Jalan Panjang akan menjadi median way,” imbuhnya.
Transportasi publik akan terkoneksi dengan perkantoran dan wilayah hunian. Bukan cuma kereta, transportasi yang tersedia juga berupa water way.
Model Jakarta sebagai kota yang berketahanan dan bebas banjir itu dibangun di wilayah seluas 700 hektar.
Dari total wilayah, hanya 300 hektar yang menjadi ruang hunian dan bangunan. Sebanyak 200 hektar adalah ruang biru dan 300 hektar lainnya untuk ruang hijau.
Wilayah yang dibangun tersebut di kemudian hari bukan hanya menjadi wilayah hunian, melainkan juga sekaligus ikon metropolitan Indonesia.
Wilayah itu akan terkoneksi dengan bandara. Warga asing yang datang dan masuk ke kota akan mengelilingi daerah yang disebut Jan sebagai “Blue Green Metropolis Jakarta 2030” itu.
“Ini akan kita jadikan percontohan terlebih dahulu. Nanti kalau berjalan, kita bisa kembangkan lebih luas di wilayah Jakarta lainnya,” ungkapnya.
Visioner, tetapi mungkinkah?
Jang mengakui, perubahan besar yang akan dilakukan pada Jakarta sangat radikal dan memiliki banyak tantangan.
“Tapi sebenarnya, secara ekonomi ini sangat mungkin, secara politik mungkin, dan secara sosial, walaupun tantangannya besar, juga masih mungkin,” ungkap Jan.
Menurut Jan, yang diperlukan dari sisi politik adalah komitmen untuk mengubah Jakarta menjadi kota lebih baik. “Setidaknya butuh dua periode pemerintahan daerah yang konsisten,” katanya.
Tantangan sosial adalah yang paling besar. Namun, pemerintah daerah sebenarnya bisa menawarkan opsi kepada warga.
Untuk relokasi warga, pemerintah bisa membangun hunian sementara. Setelah gagasan kota tersebut terwujud, warga bisa kembali.
Relokasi untuk industri yang ada di Jakarta, kata Jan, akan lebih mudah asal pemerintah mampu memberi tawaran yang baik.
“Memang ini butuh pengorbanan. Kita bisa pilih 5 atau 10 tahun berkorban atau terus mengalami kondisi seperti sekarang,” kata Jan.
Konsep pembangunan Jakarta seperti yang diungkapkan Jan sebenarnya sudah memenangi lomba yang diadakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta