Seoul, 19 Maret 2018
Deputi Gubernur DKI Jakarta didampingi oleh Asisten Deputi Bidang Lingkungan Hidup bersama dengan Delegasi Jakarta (BPBD Provinsi DKI Jakarta; Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta, Lurah Duri Utara, Sekretariat Jakarta Berketahanan, dan Plan International Indonesia) menjalani kegiatan hari pertama Cross Learning Visit Program Youth in Action for Urban Resilience di Seoul, Korea Selatan.
Kegiatan Kunjungan Belajar (Cross Learning Visit) ini sendiri merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari program “ketangguhan yang berpusat pada anak dan orang muda” (Youth in Action for Urban Resilience) yang diinisiasi oleh Plan International Indonesia. Kegiatan ini menyasar pada upaya membangun ketahanan (resilience) berbagai pemangku kepentingan yang ada di dalam kota, termasuk anak-anak, pemuda, perempuan, dan kaum difable (differently able) sebagai kelompok rentan di dalam kota. Kegiatan ini berlangsung selama 5 (lima) hari yang dimulai dari 19 Maret 2018 sampai dengan 23 Maret 2018. Pelaksanaan kegiatan ini turut didukung oleh pihak CityNet yang membantu koordinasi dengan pihak Pemerintah Kota Seoul/Seoul Metropolitan Government (SMG).
Pada Hari Pertama ini, Delegsasi Jakarta belajar dan berbagi pengalaman dengan beberapa instansi Pemerintah Kota Seoul/Seoul Metropolitan Government (SMG) yang terbagi dalam 3 (tiga) sesi, yaitu: (i) Gambaran Umum mengenai Kota Seoul dan Konesep Pengembangan Kota; (ii) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat di Seoul, dan (iii) Sistem Pengelolaan Kebencanaan dan Penyelamatan dengan Melibatkan Multi-pihak dan Optimalisasi Teknologi.
Sesi I (Gambaran Umum mengenai Kota Seoul dan Konesep Pengembangan Kota) merupakan diskusi yang dimulai oleh Paparan dari Divisi Perencanaan Perkotaan (Urban Planning Division) dari Pemerintah Kota Seoul/Seoul Metropolitan Government (SMG). Adapun beberapa hal penting yang mengemuka dari sesi I ini berupa:
- Seoul merupakan Ibu Kota dari Korea Selatan dengan kondisi yang mirip dengan Jakarta. Memiliki populasi sebesar 10,58 Juta Penduduk dengan luas daerah 605km2, Seoul telah mengalami peningkatan populasi sebesar 3 (tiga) kali lipat dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestic Product (GDP) mencapai 330 kali lipat dari tahun 1961.
- Dalam mengembangkan kotanya, Seoul menjadikan sungai Han (Hangang) dan kontur tanahnya yang berada di pegunungan sebagai dasar dalam perencanaannya.
- Pada saat perang korea (1950-1953) 30% kota Seoul turut hancur sehingga tujuan awal pembangunan kota Seoul adalah untuk merestorasi kehidupan kota Seoul setelah perang sehingga terjadi pembangunan besar-besaran. Hal ini turut menimbulkan paradigma baru bagi penduduk Korea Selatan bahwa Seoul merupakan tempat yang penuh dengan lapangan pekerjaan sehingga mempercepat pertumbuhan penduduk kota Seoul.
- Oleh karena itu, Seoul melihat bahwa perlu untuk turut menyebar fungsi-fungsi perkotaan kota Seoul ke pinggiran kota untuk pemerataan pertumbuhan penduduk di kota Seoul.
- Pengembangan kota Seoul juga semakin mendapatkan momentum baru dengan berlangsungnya berbagai kegiatan internasional di Seoul (Asian Games 1986, Olimpiade 1988, Piala Dunia 2002, dan G20 Seoul Summit 2010).
- Meskipun begitu, pembangunan besar-besaran kota Seoul di masa lalu juga memicu beberapa permasalahan berupa: (i) hancurnya/tergusurnya komunitas penduduk; (ii) rusak dan kurang diperhatikannya aset kota dengan nilai sejarah tinggi; dan (iii) rusaknya lansekap kota Seoul akibat pembangunan yang seragam di beragai kota Seoul. Kondisi kota Seoul yang sudah mulai mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, populasi penduduk yang menua, dan tingginya angka pengangguran di tingkat pemuda juga turut memperburuk keadaan kota Seoul.
- Hal ini memicu kota Seoul untuk lebih melibatkan penduduk kota-nya dalam proses pembangunan kota sehingga muncul gagasan untuk melakukan berbagai program renewal yang berorientasi kepada lingkungan dan pejalan kaki. Program renewal ini juga dilakukan dengan pendekatan bottom-up yang mengacu pada karakteristik berbagai wilayah kota Seoul.
- Pada tahun 2013, Pemerintah Kota Seoul berhasil melakukan pendekatan partisipatif dan kolaboratif untuk menyusun dokumen perencanaan kotanya. Dengan melibatkan 5000 orang melalui survey (online dan offline), penjaringan pendapat, forum diskusi (FGD), serta public hearing. Pendekatan ini juga digunakan untuk menyusun dokumen perencanaan kota Seoul untuk 100 tahun ke depan.
Sesi II (Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat di Seoul) diawali dengan Paparan dari Divisi Perubahan Iklim (Climate Change Division) SMG dan ICLEI. Adapun beberapa hal penting yang mengemuka dari sesi II ini berupa:
- ICLEI merupakan organisasi non-pemerintah yang fokus dalam mendukung agenda perubahan iklim secara global dan nasional. Program Ambitious City Promises (ACP) merupakan kegiatan yang mewujudkan komitmen kota dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) disertai dengan aksi kongkrit dan keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan.
- Dalam program ACP, ICLEI juga akan mengadakan berbagai pelatihan pengembangan kapasitas bekerja sama dengan Seoul Metropolitan Government (SMG), sebagai salah satu kota dengan predikat paling berkelanjutan (The Most Sustainable City) di Asia, yang akan memberikan transfer knowledge kepada staf pemerintah daerah terkait penyusunan agenda pengurangan emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim lokal yang komprehensif.
- Pemerintah kota Seoul (SMG) melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mengingat semakin seringya terjadi perubahan cuaca yang abnormal dan pemberitaan media yang makin masif terhadap perubahan iklim.
- Asia Environmental Doomsday Clock yang menunjukkan skala 9,09 (extremely concerned) juga menjadi dasar Seoul untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
- Fokus utama kota Seoul dalam upaya tersebut berasal dari sektor: (i) urban governance, (ii) energi, (iii) kualitas udara dan transportasi, (iv) air dan sumber daya alam, (v) ekologi dan kesehatan.
- Dalam upaya ini Seoul berhasil untuk mengurangi 1 (satu) Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pada tahun 2012 dan melibatkan ±3,5 juta jiwa penduduk (1/3 penduduk kota Seoul) dengan melakukan pendekatan partisipatif dan kolaboratif.
- Sampai saat ini, terdapat 80 desa yang independen secara energi (mampu menghasilkan energi sendiri) di kota Seoul.
- Pendekatan eco-driving mileage (insentif untuk warga yang berhasil melakukan penghematan energi) dianggap sebagai pendekatan yang sukses dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Kota Seoul.
- Aspek energi terbarukan (renewable energy) juga menjadi aspek utama dalam upaya tersebut. Melalui solar photo-voltaic (Solar PV), Seoul berhasil mengurangi konsumsi energi sebesar 144,6 Megawatt. Penggunaan lampu LED juga menjadi salah satu upaya kota Seoul dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
- Pemerintah Kota Seoul juga menjelaskan bahwa pendekatan partisipatif juga dilakukan dengan melakukan crowd-funding dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan sehingga dapat membantu anggaran dinas pemerintah kota Seoul dalam upaya tersebut.
- Pada pertemuan ini, pihak SMG menjelaskan bahwa komitmen pimpinan dan pengambil keputusan menjadi kunci untuk melakukan pelibatan pemangku kepentingan dalam berbagai upaya pembangunan kota.
Sesi III (Sistem Pengelolaan Kebencanaan dan Penyelamatan dengan Melibatkan Multi-pihak dan Optimalisasi Teknologi) diawali dengan Paparan dari Seoul Emergency Operation Center (SEOC). Adapun beberapa hal penting yang mengemuka dari sesi III ini berupa:
- Seoul Emergency Operation Center (SEOC) terbentuk pada 22 Maret 2002 dengan tujuan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat, dan efektif terhadap segala jenis kondisi darurat di kota Seoul.
- Pemerintah kota Seoul melakukan optimalisasi teknologi dalam proses penyelamatan dalam keadaan darurat. Hal ini dilakukan untuk menghadirkan pelayanan yang real-time, penanganan yang tepat berdasarkan kondisi darurat yang terjadi, dan CCTV milik pemerintah (berjumlah >14.000 CCTV di Seoul) untuk monitoring dan mempermudah analisis keadaan darurat di kota Seoul.
- Hal ini turut mempercepat waktu respons kedaruratan/emergency response time hanya 5 (lima) menit dari waktu diterimanya laporan kejadian darurat.
- Selain, respon kedaruratan, Seoul Emergency Operation Center (SEOC) juga memberikan panduan penanganan dalam setiap laporan kedaruratan yang diterima dalam hotline 119. Hal ini mungkin untuk dilakukan karena telah terintegrasinya tenaga medis dan petugas kedaruratan dengan Seoul Emergency Operation Center (SEOC) sehingga bisa memberikan penanganan yang cepat, tepat, dan efektif.
- Kota Seoul sendiri telah memiliki 7000 petugas kedaruratan yang bisa bertindak secara efektif dalam kondisi darurat. Hal ini berbanding terbalik dengan Jakarta yang baru memiliki 2755 petugas kedaruratan pada tahun 2017.
- Pada saat terjadinya kondisi kedaruratan, komando penanganan kondisi darurat berada di Kepala Seoul Emergency Operation Center (SEOC) untuk kondisi kedaruratan ringan yang kemudian berpindah kepada Walikota Seoul jika kondisi darurat semakin berpotensi mengganggu kegiatan perkotaan.
Hari pertama Cross Learning Visit Kegiatan Youth in Action for Urban Resilience di Seoul, Korea Selatan ini diakhiri dengan Jamuan Makan Malam oleh Director General of International Cooperation Bureau SMG.
Hasil dari keseluruhan rangkaian kegiatan Cross Learning Visit Kegiatan Youth in Action for Urban Resilience di Seoul, Korea Selatan ini akan dilaporkan kepada Gubernur DKI Jakarta sebagai masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait ketahanan kota Jakarta. Kegiatan ini juga diharapkan dapat membuka pintu kerja sama antarkota (city-to-city cooperation) antara kota Jakarta dan Seoul di masa mendatang.