Jakarta BerketahananKegiatan

Koordinator Ketahanan Kota/Chief Resilience Officer (CRO) Jakarta Berketahanan menjadi Narasumber dalam Acara Urbanscape and Greenery Expo 2018

20180719_152546

Jakarta, 19 Juli 2018.

Acara Urbanscape and Greenery Expo 2018 di Hall C2, Gedung Jakarta International Expo (JIEXPO), Kemayoran, Jakarta yang diselenggarakan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pihak Pemerintah Pusat Republik Indonesia dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi DKI Jakarta ini diselenggarakan dengan tujuan membuka kesempatan bagi para pemangku kepentingan untuk berbagi pengetahuan tentang tantangan dan peluang bagi kota dalam menciptakan area hijau di perkotaan untuk mewujudkan kota yang berketahanan. Kegiatan ini sendiri turut mengadakan pameran bagi berbagai proyek yang telah berkontribusi pada pengembangan lansekap perkotaan di seluruh dunia.

Pameran proyek yang telah berkontribusi pada pengembangan lansekap perkotaan

Kegiatan tersebut turut menghadirkan berbagai narasumber untuk mengisi acara. Dalam kegiatan ini, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (Deputi TRLH) selaku Koordinator Ketahanan Kota/Chief Resilience Officer (CRO) Jakarta Berketahanan turut menjadi narasumber dalam sesi yang bertema “Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kota Berketahanan”.

Dalam sesi tersebut, turut dihadirkan 2 (dua) narasumber yang terdiri dari (i) Deputi TRLH/CRO Jakarta Berketahanan dan (ii) Pakar Transportasi dari DEX Transit (Konsultan Sistem Transportasi). Adapun beberapa hal penting dari sesi panel ini berupa:

20180719_153548

  1. Paparan Deputi TRLH/CRO Jakarta Berketahanan
    • Program 100RC adalah program non-komersial yang dipelopori oleh The Rockefeller Foundation pada tahun 2013, dibawah naungan Rockefeller Philanthrophy Advisors (RPA). Program ini didedikasikan untuk membantu kota dunia dalam membangun ketahanan terhadap tantangan dan permasalahan sosial, ekonomi, dan fisik kota yang semakin meningkat di abad ke-21, diantaranya globalisasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Adapun ketahanan kota yang dimaksudkan meliputi kapasitas individu, masyarakat, institusi, dunia usaha, dan sistem kota untuk bertahan, beradaptasi, dan tumbuh meskipun mengalami tekanan/stresses (seperti kemacetan, polusi udara, dan kurangnya air bersih) dan guncangan/schocks (seperti bencana alam, kebakaran, serangan terorisme dan kerusuhan sosial).
    • Setelah sukses memilih 63 kota di tahun 2013 dan 2014, 100RC menerima 325 aplikasi dari 80 negara di 6 benua termasuk Jakarta pada tahun 2016. Pada bulan Mei 2016, Kota Jakarta terpilih sebagai salah satu dari 37 kota dunia untuk bergabung dalam jejaring internasional 100RC
    • Untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota berketahanan, ada beberapa indikator dan kualitas yang harus dipenuhi. Indikator ini dihadirkan dalam bentuk frameworks untuk mempermudah pemahaman terkait kota berketahanan yang terdiri dari 12 faktor penggerak (drivers).
    • Kualitas kota berketahanan yang harus dipenuhi adalah:
      • Reflective, kemampuan kota untuk belajar dan mengantisipasi tantangan dari pengalaman yang telah dilalui sebelumnya sehingga mampu menghasilkan suatu strategi ketahan yang lebih komprehensif.
      • Resourceful, kemampuan kota untuk menghadapi tantangan dengan berbagai sumber daya sehingga tidak hanya bertopang pada 1 (satu) sumber daya saja.
      • Robust, kemampuan kota untuk merencanakan strategi kota yang lebih menyeluruh sehingga tantangan yang dihadapi oleh kota tidak akan mempengaruhi kehidupan berkota.
      • Redundant, kemampuan kota untuk bangkit dari tantangan yang dihadapi karena telah memiliki kapasitas cadangan dalam menyelesaika akibat dari tantangan tersebut.
      • Flexible, kemampuan kota untuk menghadapi tantangan dengan memiliki strategi alternatif ketika dihadapi dengan tantangan.
      • Inclusive, kemampuan kota untuk menghadapi tantangan karena berhasil melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
      • Integrated, kemampuan kota untuk menghadapi tantangan karena semua sistem kehidupan berkota telah mampu terintegrasi dengan baik sehingga tantangan yang dihadapi tidak memberikan efek yang besar terhadap kehidupan berkota.
    • Sedangkan, 12 faktor penggerak kota berketahanan terbagi dalam 4 (empat) kategori, yaitu:
      • Kesehatan dan Kesejahteraan, yang terdiri dari: (i) Pemenuhan Kebutuhan Dasar, (ii) Penghidupan dan Pekerjaan yang Layak, dan (iii) Menjamin Pelayanan Kesehatan Masyarakat
      • Ekonomi dan Kemasyarakatan, yang terdiri dari: (i) Mendorong partisipasi masyarakat yang terpadu, (ii) Menjamin Kestabilan Sosial, Keamanan, dan Keadilan, dan (iii) Mendorong Kemakmuran Ekonomi.
      • Infrastruktur dan Lingkungan Hidup, yang terdiri dari: (i) Menyediakan dan Meningkatkan Perlindungan pada Aset Alam dan Buatan, (ii) Menjamin Ketersediaan Pelayanan Publik, dan (iii) Komunikasi dan Mobilitas yang dapat Diandalkan.
      • Kepemimpinan dan Strategi, yang terdiri dari: (i) Meningkatkan Kepemimpinan dan Pengelolaan yang Efektif, (ii) Memberdayakan Seluruh Pemangku Kepentingan, dan (iii) Perencanaan Jangka Panjang yang Terpadu.
    • Ruang Terbuka Hijau (RTH) sendiri juga menjadi salah satu perhatian dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota berketahahanan mengingat 4 (empat) fungsi RTH yang juga akan berperan dalam mewujudkan Jakarta Berketahanan: (i) Konservasi Air; (ii) Memelihara Iklim Mikro; (iii) Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK); dan (iv) Tempat Bersosialisasi.
    • Hal ini terlihat dari selarasnya fungsi RTH dengan beberapa faktor penggerak kota berketahanan.
    • 1
    • Paparan ini juga menjelaskan mengenai kondisi RTH di Jakarta yang baru mencapai 9,98% dari luas total DKI Jakarta. Hal ini masih jauh dari target luasan RTH yang ditekankan pada UU. No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengharuskan luasan RTH sebesar 20% melalui RTH Publik dan sebesar 10% RTH Privat.
    • Sementara itu, terdapat beberapa tantangan dalam pengadaan RTH di Jakarta berupa:
      • Kesadaran pentingnya ruang publik, baik RTH maupun non RTH, masih belum menjadi arus utama
      • Ruang publik belum terinternalisasi dalam kebijakan pemerintah daerah
      • Kesulitan dalam penyediaan lahan kosong di perkotaan
    • Untuk menghadapi tantangan tersebut agar dapat mengoptimalkan pengadaan RTH, diperlukan 2 (dua) pendekatan, yaitu: (i) Memperkenalkan Solusi Alternatif dan (ii) Penerapan Monitoring dan Evaluasi yang Efektif.
    • Solusi Alternatif yang diperkenalkan berupa:
      • Menggunakan skema Kompensasi terhadap pelampauan KLB dalam bentuk penyediaan fasilitas publik melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 210 Tahun 2016 tentang Pengenaan Kompensasi Terhadap Pelampauan Nilai Koefisien Lantai Bangunan dalam penyediaan RTH.
      • Pemanfaatan Pertanian Perkotaan untuk solusi alternatif dalam menggantikan peran RTH, yaitu: Mengurangi Emisi GRK, Memelihara Iklim Mikro, dan Sarana Konservasi Air
    • Penerapan Monitoring dan Evaluasi yang Efektif melalui pengembangan Desain Besar (Grand Design) Pendataan RTH yang bertujuan untuk menjadi salah satu langkah strategis dalam memenuhi target RTH yang dapat dijadikan rekomendasi target realisasi RTH Tahunan untuk dipergunakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta.
    • Sampai saat ini, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta telah melakukan Survei Lapangan untuk mengklasifikasikan 42 Kecamatan (tidak termasuk 2 Kecamatan di Kepulauan Seribu) di DKI Jakarta berdasarkan 3 (tiga) area prioritas, yaitu:
      • Prioritas 1 adalah Kecamatan yang dengan realisasi RTH terendah (16.41% – 43.96%) terdiri dari 14 Kecamatan,
      • Prioritas 2 adalah Kecamatan dengan realisasi RTH sedang (44,64% – 70,63%) terdiri dari 19 Kecamatan,
      • Prioritas 3 adalah Kecamatan dengan realisasi RTH tinggi (73,65% – 100%) terdiri dari 9 Kecamatan.
  2. Paparan Pakar Transportasi dari DEX Transit (Konsultan Sistem Transportasi)
    • Paparan ini menjelaskan mengenai konsep Transit Oriented Development (TOD) untuk mewujudkan kota berketahanan.
    • Dalam paparan ini juga ditekankan bahwa dalam membangun suatu sistem perkotaan perlu untuk menyamakan visi para pemangku kepentingan yang ada di kota.
    • Paparan ini juga menyebutkan bahwa data tahun 2007 menunjukkan bahwa masih baru terdapat 2% ruang publik taman dan 6% ruang publik non-taman (salah satunya berupa streetscape) yang terdapat di Jakarta.
    • Terkait dengan hal tersebut, konsep TOD dapat membantu mengoptimalkan pengadaan RTH di kota dengan mengintegrasikan seluruh sistem yang bekerja di kota.
    • Perlu pula untuk mengurangi kondisi tersebarnya kegiatan perkotaan (urban sprawl) karena akan memperburuk kondisi transportasi dan ekonomi bagi suatu kota.
    • Tantangan utama yang diidentifikasi dalam mengembangkan konsep TOD pada suatu kota merupakan sulitnya mengintegrasikan berbagai sistem transportasi, infrastruktur pejalan kaki, penyediaan pusat aktivitas, dan keterhubungan dengan wilayah lain. Hal ini mengakibatkan tidak terkendalinya perkembangan di suatu kota.
    • Untuk mengoptimalkan pengadaan RTH, pemerintah kota juga dapat mencari solusi alternatif dengan memaksa pengelola RTH Privat untuk memberikan akses kepada publik sehingga meningkatkan kondisi kehidupan perkotaan.

Dalam kegiatan ini, juga ditekankan bahwa pada tahun 2030, jumlah urbanisasi dunia akan mencapai 60%, yang menandakan bahwa jumlah kota-kota akan terus bertumbuh, baik dalam ukuran (size) maupun dalam jumlah (amount). Kami akan menghadapi perubahan penggunaan lahan akut yang berdampak pada perubahan iklim, karena kota akan mengkonsumsi 75% energi dunia dan menghasilkan lebih dari 60% CO2.

Kota-kota juga akan menghadapi perubahan eksponensial populasi, teknologi, dan nilai sosial. Untuk memiliki interaksi komunitas yang baik, wajib bagi kota untuk memiliki lansekap lingkungan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, Desain lansekap perkotaan yang baik menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan kota yang berketahanan.

Show More

Related Articles

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com