Di tengah banjir yang menghampiri permukiman di Jakarta, muncul meme Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang ingin mengetahui konsep naturalisasi yang dimaksud Gubernur DKI Anies Baswedan itu seperti apa. Sejak era gubernur Fauzi Bowo, Joko Widodo, dan Basuki Tjahaja Purnama, sudah ada kesepakatan antara Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Bank Dunia untuk menata sungai sekaligus mengurangi banjir. Ada empat sungai yang fokus ditata, yakni Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, dan Sungai Sunter.
Penataan sungai ditargetkan tuntas pada 2022. Namun kini penataan sungai “terpaksa” terhenti sejak Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Warga Jakarta tentu masih ingat salah satu gagasan yang dijanjikannya adalah membenahi sungai dengan konsep naturalisasi sungai dan berjanji tidak menggusur permukiman di bantaran sungai.
Untuk itu, ada lima langkah “si” yang dapat dilakukan. Pertama, regulasi. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menetapkan bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter, 15 meter (3-20 meter), dan 30 meter (lebih dari 20 meter). Sementara itu, garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan minimal berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul. Garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang diterapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Kedua, solusi. Konsep naturalisasi muncul sebagai “pembeda” di tengah kegiatan normalisasi sungai oleh pemerintah. Badan sungai dikeruk, diperdalam, dan diperlebar dengan konsekuensi menggusur permukiman di bantaran sungai. Tepi badan sungai ditanggul (piel beton) agar tidak longsor sehingga terkesan masif.
Konsep naturalisasi merupakan upaya mengembalikan bentuk sungai ke kondisi alami, meliak-liuk bak ular, tampang melintang bervariasi, dan ditumbuhi tanaman lebat sebagai habitat organisme tepian sungai. Bantaran sungai dihijaukan dengan tanaman yang berfungsi sebagai hidrolis ekologis alami, mencegah erosi dasar dan tebing sungai, serta meredam banjir.
Saat hujan, tanaman di sepanjang sungai akan menghambat kecepatan aliran, muka air naik dan menggenangi bantaran dan tanaman di jalur hijau, yang secara alami memang dibutuhkan untuk ekosistem pendukung kelangsungan keanekaan hayati tepian sungai. Banyak kota di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat yang memadukan pendekatan normalisasi dan naturalisasi dengan serasi dalam penataan sungainya.
Ketiga, relokasi. Pendekatan apa pun yang akan diambil, baik normalisasi, naturalisasi, maupun memadukan keduanya, yang pasti pemerintah DKI harus melebarkan badan sungai agar kapasitas air meningkat dan memiliki sempadan sungai yang optimal. Garis sempadan sungai harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, tata ruang kota, kondisi sosial-budaya masyarakat setempat, serta ketersediaan jalan akses bagi kegiatan pengawasan dan pemeliharaan sungai.
Untuk itu, pemerintah DKI berkewajiban menertibkan semua bangunan yang berada di dalam sempadan sungai, mengembalikan fungsi sempadan sungai, serta merelokasi permukiman warga. Badan sungai difungsikan kembali sebagai pengendali banjir, penyuplai cadangan air, dan pelestarian ekosistem habitat satwa liar.
Keempat, sosialisasi. Pemerintah DKI, yang dipimpin langsung oleh gubernur, perlu melakukan sosialisasi rencana penataan bantaran sungai kepada masyarakat setempat. Warga diberikan wawasan risiko tinggal di daerah rawan banjir dan longsor.
Pendekatan apa pun yang akan dipilih, baik normalisasi, naturalisasi, maupun perpaduan keduanya, relokasi permukiman warga di bantaran sungai adalah keharusan. Keberanian dan ketegasan gubernur sangat ditunggu untuk segera melanjutkan penataan sungai sehingga warga secara sukarela direlokasi ke tempat terdekat yang aman dari bencana, ke permukiman hunian (vertikal) yang lebih layak huni dan terpadu.
Kelima, implementasi. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030, badan 13 sungai utama akan diperlebar dari saat ini 15-20 meter menjadi 35-50 meter dan bantaran sungai kiri-kanan 7,5-15 meter, juga pengerukan kedalaman sungai dari 2-3 meter ke 5-7 meter. Sementara itu, untuk sungai pendukung, dari lebar 5-10 meter ditambah menjadi 10-15 meter dan bantaran sungai 5-7,5 meter.
Peta alur sungai akan memastikan kawasan mana yang masih bisa dilakukan naturalisasi penuh, perpaduan naturalisasi dan normalisasi, serta “terpaksa” normalisasi karena keterbatasan lahan dan ruang yang tersedia dengan seminimal mungkin merelokasi warga. Membenahi sungai bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Artikel ini dipublikasikan di: https://kolom.tempo.co/read/1196414/galau-normalisasi-atau-naturalisasi/full&view=ok
Oleh: Nirwono Joga/Pusat Studi Perkotaan/Tempo