Polusi udara di Ibu Kota kian memprihatinkan. Berbagai kebijakan pun mulai gencar dirancang guna mengatasi masalah tersebut. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, upaya pengendalian pencemaran udara sebenarnya sudah dimulai sejak 2005. Kini, komitmen itu diuji kembali.
Baru-baru ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan peta jalan (road map) untuk mengatasi polusi Jakarta yang akan ditempuh selama sekitar 10 tahun. Peta jalan bertajuk “Jakarta Clean Air 2030” itu dijabarkan dalam 14 rencana aksi. Dalam rencana itu, setengahnya fokus membahas transportasi darat.
Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan, penyelesaian lewat transportasi darat baru menyentuh 75 persen sumber polusi Jakarta. Itu saja tidaklah cukup. Pemprov DKI harus juga menitikberatkan pada sumber polusi lain agar penanganan polusi ini bisa lebih komprehensif.
“Kalau bicara polusi udara lagi-lagi harus kembali kepada baseline data atau scientific evidence. Artinya, ketika tindakan yang diambil bukan mengendalikan sumber pencemarnya, ini agak enggak nyambung,” ujar Bondan di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sumber polusi Ibu Kota terbagi menjadi empat, yakni transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).
Mengacu pada catatan itulah, menurut Bondan, pemerintah harus bergerilya. Dengan demikian, antara rencana aksi, strategi, serta target penurunan beban pencemarnya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Lebih jauh, Bondan menyayangkan rencana aksi yang tak mencantumkan rencana koordinasi dengan pemerintah daerah sekitar Jakarta, seperti Banten dan Jawa Barat. Padahal, sumber polusi itu nyatanya tak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga kota tetangganya.
“Bicara polusi udara harus ada rencana bersama yang sinergis antar pemerintah perihal pengendalian sumber pencemar udara,” tutur Bondan.
Mengulang
Terlepas dari rencana aksi itu, sebenarnya upaya pengendalian pencemaran udara sudah banyak diatur di dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Misalnya, inventarisasi atau penelitian terhadap potensi sumber pencemaran udara, serta melakukan pencegahan pencemaran udara yang diakibatkan dua sumber polusi, yang bergerak (kendaraan bermotor) dan tidak bergerak (industri).
Bahkan, ada pula, aturan yang mengatur soal larangan membakar sampah yang mencemari lingkungan. Itu tertuang dalam Pasal 126 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Itu pun sudah mencantumkan sanksi bagi yang melanggar, yakni pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling besar Rp 5 miliar.
Nyatanya, penindakan terhadap masalah ini masih jauh panggang dari api. Kerap dijumpai warga Jakarta yang asal membakar sampah.
Jika penegakan hukum selalu lemah seperti ini, sebaik apapun aturan atau rencana aksi yang dibuat, pemerintah akan menemui jalan buntu dalam mengatasi polusi udara. “Sampai saat ini, implementasi dan penegakan aturan belum terlihat. Pemerintah harus konsisten dan tegas jika mau menuntaskan masalah ini,” kata Bondan.
Komitmen
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan, pemerintah tak main-main ingin menuntaskan masalah polusi udara yang semakin mengkhawatirkan bagi kesehatan warga Ibu Kota. Dari sisi transportasi, itu akan dilakukan secara bertahap.
Yang paling dekat, menurut Syafrin, pemerintah akan meremajakan bus kota dan mengintegrasikannya dengan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) melalui program Jak Lingko. Pada tahun ini, Syafrin menyebut, operator bus memperoleh kuota 460 unit bus sedang untuk bergabung dengan Transjakarta.
Selain itu, lanjut Syafrin, adalah pengetatan uji emisi kendaraan bermotor dan pengembangan transportasi umum ramah lingkungan. “Mulai tahun depan, semua kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta wajib lulus uji emisi,” tegas Syafrin.
Lebih jauh, pemerintah tengah mengkaji kenaikan tarif parkir kawasan. Kelak, di sejumlah kawasan pusat kegiatan akan dikenai tarif tinggi agar masyarakat beralih menggunakan transportasi umum.
“Tentu setelah kajian selesai, kami akan lakukan revisi peraturan gubernur dan kami akan segera terapkan. Sebab, kalau sekarang Rp 5 ribu per jam itu kayak enggak ada artinya bagi warga Jakarta,” kata Syafrin.
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Agung Pujo Winarko pun menyampaikan komitmennya terhadap penyelesaian masalah polusi udara itu.
Kelak, hasil uji emisi akan menjadi syarat dalam penentuan tarif parkir. Jika kendaraan itu belum lulus uji emisi, tarif parkir kendaraannya akan lebih tinggi.
Namum, agar kebijakan ini dapat berjalan baik, penyediaan infrastruktur pendukung berupa bengkel uji emisi harus dibangun terlebih dahulu.
Masalahnya, saat ini, baru ada 155 bengkel yang terintegrasi dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI. Padahal, jika melihat jumlah kendaraan roda empat di Jakarta yang mencapai 3,5 juta unit, maka itu artinya bengkel uji emisi yang tersedia paling sedikit harus mencapai 998 bengkel.
“Jika kebijakan ini mau dilaksanakan secara massal, tata cara pelaksanaan uji emisi harus terlebih dahulu dipermudah,” tutur Agung.
Pada akhirnya, semoga Pemprov DKI tak hanya sekadar merumuskan program. Keberhasilan program perlu diikuti dengan langkah konkret, juga disertai penegakan hukum yang tegas dan tak lupa membangun kesadaran masyarakatnya.
Berita ini termuat dalam sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/07/27/jalan-panjang-atasi-polusi-jakarta/