Di tengah riuhnya kampanye mengontrol kresek, sejumlah pihak mengingatkan bahwa perlu upaya yang jauh lebih besar, termasuk pembenahan sektor hulu dan perbaikan mekanisme daur ulang untuk menyelesaikan masalah sampah plastik.
Wartawan BBC News Indonesia, Callistasia Wijaya, merangkum sejumlah pro-kontra dalam sejumlah data berikut ini.
Bagaimana kantong plastik sekali pakai akan diregulasi?
Langkah pembatasan kantung plastik telah dilakukan di beberapa kota seperti Balikpapan, Denpasar, Jambi, Bogor, dan Bali.
Jakarta kini tengah merumuskan peraturan gubernur sejenis yang melarang penggunaan kantung plastik sekali pakai baik di pasar modern atau tradisional.
Rencana ini dilakukan seiring dengan hasil riset yang menyatakan bahwa warga Jakarta ingin mengurangi pemakaian kresek dan setuju jika pemerintah meregulasinya.
“Plastik ini dipakai, (terbuang) kemana-mana kan, ke sungai, ke mana-mana,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Isnawa Adji.
“Sampai terbuang ke perairan jadi mikroplastik. Ini yang secara viral, jadi permasalahan di dunia. Kita temukan ada ikan paus di Wakatobi (dengan sampah plastik di perutnya), sampah-sampah di teluk Jakarta.”
Dalam rancangan aturan itu ada beberapa jenis tahapan sanksi yang disiapkan, dimulai dari teguran, denda paksa sebesar Rp5 juta sampai Rp25 juta, hingga pencabutan izin usaha.
Peraturan gubernur ini akan dikeluarkan dalam waktu dekat. Setelah peraturan resmi dikeluarkan, pemerintah provinsi akan mensosialisasikan peraturan itu dalam waktu enam bulan, sebelum benar-benar menerapkannya.
Indonesia sudah terkenal sebagai jawara sampah plastik – disebut sebagai produsen sampah di laut terbesar kedua setelah Cina.
Laporan sintesis yang dikeluarkan Bank Dunia tahun lalu menemukan bahwa komposisi sampah kantung plastik di sungai Jakarta tergolong besar, yaitu 21.6% – kedua terbesar setelah kategori sampah organik lainnya sebesar 52,1%.
Persentase yang cukup besar ini tidak mengejutkan karena kebanyakan orang biasa membuang sampah dengan kantung plastik, sebut laporan itu.
Porsi kresek dibanding sampah plastik lain?
Walau begitu, porsi penggunaan kantung plastik ternyata cukup kecil jika dibandingkan dengan total keseluruhan sampah plastik – yang mencakup botol, gelas, kemasan plastik dan sejenisnya.
Dari konsumsi, dinas lingkungan hidup dan Gerakan Diet Kantung Plastik memperkirakan warga rata-rata menggunakan 5,2 hingga 6,5 ton kantong per hari.
Angka ini hanya menghitung pemakaian kresek di segmen retail dan pasar saja, belum termasuk grosir, kemasan, bungkus antar makanan, apotek, toko khusus, dan lainnya, sehingga angka total diperkirakan lebih besar.
Tapi jika dibandingkan dengan sampah plastik yang dihasilkan Jakarta, konsumsi kantung plastik ini jumlahnya hanya 1% dari total sampah plastik – yang diperkirakan bisa mencapai sebesar 978 ton per hari.
Sejumlah pertanyaan kemudian muncul: seberapa besar ‘perang’ terhadap kantung plastik bisa mengatasi masalah keseluruhan? Apakah fokus pemerintah dan masyarakat pada kantung plastik salah sasaran?
Pemda DKI Jakarta mengakui bahwa mengatasi masalah sampah plastik adalah jalan panjang, tapi berharap bahwa peraturan ini dapat menimbulkan multiplier effect, di mana masyarakat akan terdorong untuk mengurangi konsumsi produk berbahan plastik lainnya seperti styrofoam, air mineral kemasan dan sedotan plastik.
“Itu habit ya, perilaku yang harus kita mulai bangun untuk tidak lagi menambah volume sampah, walaupun pergubnya baru kepada kantung plastik,” ujar Isnawa.
Juru Kampanye Urban dari Greenpeace, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan rancangan peraturan ini adalah awal mula yang baik untuk upaya mengurangi sampah plastik.
“Masalah plastik sudah semakin serius. Kita akui masalah ini tidak bisa selesai dengan hanya kurangi kantung plastik. Tapi kita melihat larangan (bisa dilihat sebagai) pintu masuk untuk meningkatkan awareness masyarakat,” katanya.
Ada kisah-kisah sukses
Muharram mengatakan meski tidak akan mengurangi jumlah sampah plastik secara keseluruhan, setidaknya aturan ini akan mengurangi jumlah pemakaian kantung plastik.
Di Balikpapan, kata Muharram, sejak peraturan yang melarang distribusi kantung plastik di gerai pasar modern diterapkan pada Juli tahun lalu, konsumsi kantung plastik sudah berkurang hingga lebih dari 50 juta lembar.
Sementara itu, Bogor telah menerapkan aturan serupa pada awal Desember lalu.
Walikota Bogor, Bima Arya, mengatakan sejak aturan diterapkan jumlah sampah plastik berkurang sebanyak 1,7 ton per hari.
“Kita pantau pelaksanannya di lapangan, artinya kita cek di toko-toko modern, itu berjalan lancar. Jadi, nggak ada lagi toko modern yang pakai plastik,” katanya.
Ia menambahkan dalam waktu paling cepat satu tahun, peraturan yang sama akan diterapkan ke pasar tradisional.
Produsen plastik minta pemerintah urus sistem daur ulang
Sejumlah produsen plastik mengatakan masalah sampah plastik tidak semata-mata terkait dengan besarnya konsumsi, tetapi juga pengolahan.
Inilah yang menjadi alasan produsen plastik keberatan dengan larangan penggunaan kresek.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatika, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman masalah terkait plastik berakar dari pengelolaan sampah yang belum tepat.
Pihaknya mengaku sudah menyarankan pihak pemerintah untuk mengelola sampah dengan cara Manajemen Sampah Zero (Masaro).
Dengan Masaro, sampah plastik, termasuk kresek, dikumpulkan di tiap kelurahan dan kecamatan untuk diolah menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah.
Dengan sistem ini, katanya, warga diminta untuk memilah sampah plastik untuk kemudian dijual ke pengusaha daur ulang plastik.
Limbah plastik, ujarnya, bisa digunakan sebagai bahan bakar motor, minyak tanah dan campuran aspal.
Di DKI Jakarta sendiri, Kepala Seksi Pengolahan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Rahmawati, mengakui belum ada industri khusus untuk mendaur ulang kantung plastik jenis kresek. “Di pinggiran Bogor, Tangerang, Bekasi mungkin ada, diolah jadi biji plastik,” kata Rahmawati.
Dari pandangan Inaplas, pembatasan kantung plastik justru bersifat destruktif pada industri plastik dan iklim investasi ke depan.
Beberapa perusahaan plastik, katanya, sedang mengusahakan proyek-proyek besar dan mereka mungkin saja terdampak oleh aturan ini.
“Isu-isu ini menyulitkan mereka-mereka yang sedang mengusahakan ini (investasi) untuk kemajuan Indonesia, lapangan pekerjaan, direct foreign investment, dana masuk supaya stabil… Sesuatu yang besar itu mungkin bisa gagal karena pemikiran-pemikiran yang menurut saya trivial,” kata Budi.
“Dan ini (pelarangan) ide impor. Padahal nggak applicable dan belum pada saatnya.”
Industri-industri plastik kecil di di Jakarta, Tangerang, dan Jawa Tengah, lanjutnya, sudah merasa resah. Budi mengatakan Inaplas akan tetap menyampaikan keberatan mereka atas pembatasan plastik, baik ke pemerintah pusat maupun ke pemerintah daerah.
Pihak swasta yang justru harus ‘lebih ditekan’
Muharram dari Greenpeace mengatakan kebijakan pelarangan plastik tentu perlu diikuti dengan upaya pengurangan plastik di hulu.
Penanganan masalah plastik ini, lanjutnya, sebetulnya lebih baik jika dimulai dari pihak-pihak atau sektor yang punya pengaruh besar, dalam hal ini pemerintah dan sektor swasta.
Pemerintah, katanya, perlu mengeluarkan regulasi yang fokus pada masalah reduksi atau pengurangan suplai plastik karena produksi meningkat tiap tahun.
“Ketika kita hanya bicara plastik yang sudah jadi sampah, tapi keran produksinya tidak kita stop, kita tidak batasi ketersediaan plastik di pasar, tentu akan sulit untuk menyelesaikannya (masalah plastik),” ujar Muharram.
Dan ini tidak hanya perusahaan kantung plastik tapi juga berbagai produsen makanan dan minuman kemasan.
Hasil audit merek yang dilakukan Greenpeace pada Oktober 2018 di sejumlah kegiatan bersih-bersih pantai, ditemukan banyak sampah plastik berasal dari produk kemasan.
Misalnya, mereka menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G dan Wings di Pantai Kuk Cituis (Tangerang); sampah produk dari Danone, Dettol, Unilever di Pantai Mertasari (Bali); dan Indofood, Unilever, Wings di Pantai Pandansari (Yogyakarta).
Greenpeace mengatakan pemerintah harus terus mendorong perusahaan swasta untuk menjalankan tanggung jawab mereka, yang dikenal dengan istilah extended producer responsibility (EPR) sebagaimana tercantum di undang-undang pengelolaan sampah.
Dengan EPR, setiap perusahaan diminta untuk mengelola sampah dari produk-produk yang mereka hasilkan, terutama yang sulit terurai di alam.
“Karena kita tahu sebenernya di undang-undang kita semangat untuk menjalankan EPR itu ada, tapi realisasinya masih sangat jauh dari ideal,” katanya.
“Pihak swasta inilah perusahaan-perusahaan yang punya resource dan mereka inilah yang memproduksi dan menyediakan plastik-plastik yang beredar di masyarakat.”
Aturan turunan terkait EPR ini memang sedang disiapkan, tapi sayangnya tidak mengikat dan tidak memuat sanksi.
Aturan ini akan dimasukan dalam Permen Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen – yang menyasar tiga sektor, yaitu manufaktur, perusahaan retail, dan industri jasa makanan dan minuman, hotel, restoran, dan kafe, kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati.
Pada permen itu, kata Vivien, produsen diminta punya perencanaan untuk mendesain ulang kemasan agar tidak menggunakan plastik sekali pakai. Selain itu, mereka diminta mengembangkan sistem “take back” atau mengambil kembali kemasan produk yang sudah menjadi sampah.
“Nggak ada paksa memaksa, memang nggak pakai sanksi. Kalau sanksi itu terhadap perilaku, seperti membuang sampah sembarangan, mengelola TPA secara open dumping,” kata Vivien.
Artikel ini telah dipublikasikan di https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46806704
oleh: Callista Wijaya dan Christine Franciska, BBC Indonesia