BeritaJakarta BerketahananKliping

Penyakit Mematikan Mengintai Ibu Kota

Polusi udara dapat perhatian serius.

Istu Prayogi (54), pengojek daring, langsung melepas helm dan buff-nya setelah tiba di pos ojek daringtepat di depan Stasiun Depok Baru. Belum selesai mencantolkan helm di spion, Istu terus batuk-batuk sambil mengeluarkan ingusnya yang sudah mengganggu sejak di perjalanannya mengantarkan penumpang. Gejala itu sudah dirasakan Istu hampir sembilan tahun saat dokter memvonis paru-parunya bermasalah.

”Dokter bilang, paru-paru saya ini crowded, ada bercak-bercak hitam. Padahal, merokok enggak, ngopi juga enggak. Ternyata, sensitif sama udara kotor,” ujar Istu, Rabu (19/6/2019).

Meski bertempat tinggal di Depok, pekerjaan Istu tak pernah terlepas dari jalanan Jakarta. Sejak 1989, dia bekerja di sebuah pabrik ban di kawasan Jelambar, Jakarta Barat. Enam tahun kemudian, Istu pindah pekerjaan menjadi seorang guru di dua SMP negeri sekaligus di Jakarta Selatan.

Istu selalu pulang malam hari, bahkan sesekali dini hari. Setiap hari, jalan panjang sekitar 20 kilometer harus dia tempuh dengan motornya. Tak pernah terlintas memakai masker. Yang terpenting baginya adalah memakai jaket.

Hingga suatu waktu tahun 2009, Istu merasakan pusing yang teramat berat sambil menggigil. Dia membeli obat penurun panas dan penghilang rasa nyeri, tetapi hasilnya nihil. Padahal, saat itu dia hendak mengikuti seleksi pemilihan komisioner Komisi Pemilihan Umum Pusat.

”Kepala saya sudah kayak mau pecah. Menggigil enggak sewajarnya. Jadi, saya gagal tes dan pulang,” tutur Istu.

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Istu Prayogi (54), pengojek daring.

Gejala penyakit itu kerap kambuh tanpa dia pernah tahu kapan waktunya. Bahkan, gejala itu juga dibarengi dengan lendir yang terus keluar dari hidungnya. Istu pikir itu penyakit sinusitis.

Sampai pada 2010, saat Istu hendak berangkat kerja, penyakit itu menyerangnya kembali. Lebih dahsyat dari biasanya sehingga dia memutuskan untuk periksa di Rumah Sakit Umum Daerah Depok.

Di situlah Istu mulai dihujani pertanyaan oleh sang dokter terkait dengan flek hitam yang telah menyebar di paru-parunya. Belakangan diketahui, yang dialaminya selama ini bukan sinusitis, melainkan penyakit infeksi paru-paru atau dikenal pneumonia. Penyebab utamanya disebut karena polusi udara.

Egayudha Gustav (35) pun mengalami hal yang tak jauh berbeda. Pegawai swasta yang memang tinggal dan besar di Jakarta ini merasakan betul dampak polusi udara bagi kesehatannya.

Gustav mengaku hampir dua tahun belakangan ini menjadi rentan terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA. ”Jadi suka batuk dan radang. Dokter selalu menyarankan pakai masker kalau lagi berkegiatan di luar,” kata Gustav.

Hal itulah yang selalu diingat Gustav hingga saat ini jika hendak pergi ke kantor. Apalagi, dia selalu menggunakan transportasi umum.

”Asap kendaraan itu sudah seperti makanan sehari-hari saja kalau naik (angkutan) umum di Jakarta,” keluh Gustav.

Penyakit mematikan

Istu dan Gustav hanyalah sebagian contoh kecil korban yang terpapar penyakit ISPA karena polusi udara di Ibu Kota.

Kepala Subdirektorat ISPA Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Endah Sulastiana pun mengonfirmasi hal itu. Polusi udara menjadi salah satu faktor risiko penyakit ISPA.

Namun, untuk data spesifik kesakitan ISPA terkait polusi udara itu, Kemenkes tidak memilikinya. Begitu pula di Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Aktivis yang menamakan diri Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (5/12/2018).

Salah satu data yang menarik adalah jumlah korban yang terpapar penyakit ISPA yang tidak pernah berkurang signifikan di DKI Jakarta.

Pada 2017, jumlah korban yang terpapar penyakit ISPA mencapai 1.846.180 jiwa. Jumlah korban itu tak berbeda jauh dengan tahun 2018 yang sebesar 1.817.579 jiwa.

”Angka tak banyak berubah. Itu berarti kita tak lihat ada perubahan, polusi udara tak berkurang. Memang, untuk mengurangi tingkat polusi, itu harus serial dan panjang prosesnya,” ujar Kepala Bidang P2P Dinkes DKI Jakarta Dwi Oktavia.

Oktavia menjelaskan, ada kaitan yang jelas antara penyakit dan paparan polusi. Itu bisa berefek jangka panjang dan jangka pendek.

Yang jangka pendek, seperti penyakit ISPA itu sendiri dan asma. Lalu, efek jangka panjang mulai dari gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru-paru, hingga kanker buli atau kandung kemih.

”Itu efek jangka panjang polusi, yang paparannya lama dan dampaknya baru muncul di kemudian hari. Jadi, memang kalau sudah terpapar ISPA, pasien harus sudah ditangani sejak awal, jangan terlambat berobat,” kata Oktavia.

Apabila telat berobat, daya tahan tubuh akan menjadi lemah. Infeksi yang tadi terbatas di saluran napas atas pun akhirnya meluas ke saluran napas bawah. Itu menjadi pneumonia.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Kabut menyelimuti kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (7/6/2018). Kondisi ini disebabkan oleh fenomena inversi yang terjadi karena lapisan inversi, campuran polusi udara, ditambah radiasi matahari yang menghalangi terurainya udara yang mampat dari permukaan hingga ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (mdpl).

”Itu bisa sampai ke paru, dan itu yang tidak pernah terpikirkan. Banyak (orang) meremehkan hanya batuk biasa. Padahal, itu bisa menjadi bibit penyakit yang mematikan,” ujar Oktavia.

Darurat polusi

DKI Jakarta memang sudah termasuk gawat darurat polusi udara. Sejumlah bukti menunjukkan kualitas udara Jakarta sudah kotor.

Catatan Greenpeace Indonesia, pada 4 Juni atau sehari sebelum Lebaran, tingkat partikel debu atau particulate matter (PM) 2,5 di Jakarta mencapai 70,8 ug/m3. Angka itu lebih tinggi dari baku mutu udara sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 65 ug/m3.

Selama Januari-Desember 2018 ada 196 hari tergolong tidak sehat. Kualitas udara yang baik hanya 34 hari.

Apabila dilihat dari rata-rata tahunan, kualitas udara di Jakarta juga buruk. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta mencapai 34,57 ug/m3, sementara baku mutu udara secara nasional 15 ug/m3. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut standar mutu udara seharusnya hanya 10 ug/m3.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Lanskap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten, Kamis (19/5). PLTU yang berkapasitas lebih dari 4.000 megawatt tersebut telah menggunakan pembangkit dengan teknologi ramah lingkungan yang mampu menangkap limbah debu batubara.

Juru kampanye iklim dan energi dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menduga kualitas udara buruk itu diakibatkan beberapa hal, di antaranya asap industri, transportasi, pembakaran sampah, dan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang ada di sekeliling Jakarta.

Salah satu citra satelit yang didapatkan Greenpeace Indonesia pada Juli-Agustus 2018 menunjukkan PLTU batubara di Suralaya, Banten, menyumbang polusi udara ke Jakarta saat angin berembus ke timur.

Atas dasar itulah, gugatan terhadap kualitas udara di DKI Jakarta muncul. Gugatan dengan model citizen lawsuit ini ditujukan tak hanya kepada Gubernur DKI Jakarta sebagai pemilik kawasan Ibu Kota, tetapi juga kepada Presiden, tiga menteri, dan dua kepala daerah tetangga Jakarta, yakni Jawa Barat dan Banten. Itu karena mereka dinilai telah lalai menangani polusi udara.

Istu dan Gustav menjadi bagian dari 48 calon penggugat para pemimpin negara dan pemimpin daerah itu. Mereka tak pernah gentar menghadapinya karena ini tentang masa depan anak-anak dan cucu-cucunya.

Mereka bukan berhadapan dengan para pemimpin itu, tetapi dengan partikel kecil yang bisa sewaktu-waktu merenggut kebahagiaan keluarga kita.

Berita yang dimuat dalam sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/06/20/kampung-di-jakarta-terancam-hilang/

Show More

Related Articles

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com