JAKARTA, KOMPAS—Penegakan hukum secara konsisten dinilai jadi cara paling efektif saat ini guna menekan polusi udara secara signifikan di Jakarta. Mengingat sektor transportasi penyumbang terbesar polusi udara, pemaksaan uji emisi yang disertai sanksi jika melanggar mesti segera diterapkan.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin merekomendasikan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI dan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya berkolaborasi menggelar razia emisi di jalan raya secara berkala, misalnya tiga bulan sekali. Pengecekan emisi bisa dilakukan bersamaan dengan razia lalu lintas biasa.
“Setiap kendaraan yang distop, diuji oleh DLH. Ketika tidak memenuhi baku mutu emisi, ditilang (dikenai bukti pelanggaran) oleh Ditlantas, diproses oleh pengadilan,” ucapnya dalam diskusi bertajuk Strategi Penurunan Polusi Udara Sektor Transportasi di DKI Jakarta, Senin (1/7/2019), di Jakarta. Diskusi ini diselenggarakan oleh Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ).
Cara demikian, menurut Ahmad yang kerap disapa Puput ini, akan menimbulkan efek jera dan menjadi peringatan bagi pemilik kendaraan lainnya.
Pemilik kendaraan lantas diharapkan merawat kondisi kendaraan, termasuk dengan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan agar sesuai baku mutu emisi.
Penegakan hukum jadi jalan realistis dibanding, misalnya, menyasar aspek energi. Sebab, upaya perbaikan dengan mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan terbukti pernah kandas.
Puput mencontohkan, hal itu terjadi pada bus Transjakarta yang dahulu mengandalkan bahan bakar gas. Saat ini, bus Transjakarta banyak beralih ke solar kembali karena ada peraturan baru.
Sektor transportasi menjadi penyumbang terbanyak polusi udara di Jakarta.
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan DLH DKI Agung Pujo Winarko, mengatakan, pengendalian pencemaran udara di sektor transportasi jadi prioritas mengingat sektor itu berkontribusi pada 75 persen polusi udara di Jakarta. Kontributor terbesar kedua, sektor industri, menyumbang sekitar 8-9 persen, sangat jauh di bawah sektor transportasi.
Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta hingga Juli 2018, jumlah mobil di Jakarta sudah sekitar 2,7 juta unit. Adapun sepeda motor mencapai 7,9 juta unit.
Pada Selasa (25/6/2019) pukul 08.00, AirVisual merilis data bahwa kualitas udara Jakarta berkategori sangat tidak sehat. Itu berdasarkan nilai indeks kualitas udara (AQI) Jakarta yang sebesar 240 dengan konsentrasi debu partikulat berukuran 2,5 mikron (PM 2.5) atau lebih kecil sebesar 189,9 mikrogram per meter kubik (µg/m3). Satu PM 2.5 setara sepertiga puluh ukuran satu helai rambut.
Adapun DKI, yang sebagian besar masih mengukur kualitas udara dengan parameter PM 10, menyatakan kualitas udara di Jakarta pada Selasa pekan lalu, dalam kategori sedang, belum mencapai kategori tidak sehat.
Uji emisi jadi syarat
Sebenarnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah punya instrumen untuk memaksa pemilik kendaraan melakukan uji emisi.
Berdasarkan Pasal 19 Ayat 1 Peraturan Daerah DKI Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang. Bahkan, secara progresif, hasil uji emisi disebut dalam pasal 19 ayat 5 sebagai bagian dari persyaratan membayar pajak kendaraan.
Namun, penegakan pasal dalam perda itu belum kunjung berjalan meski perda sudah berusia 14 tahun.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Lingkungan Hidup Daerah (LLHD) DLH DKI, Diah Ratna Ambarwati, menuturkan, kondisi itu disebabkan belum tercapainya kesepakatan antara Pemprov DKI dan Ditlantas Polda terkait mekanisme pelaksanaan amanat perda. “Kami antara lain masih belum sepakat pada hal-hal yang bersifat teknis,” ujarnya.
Karena itu, Pemprov DKI mencoba pendekatan lain yang membuat pemilik kendaraan tetap menjalankan uji emisi meski tanpa koordinasi dengan pihak selain Pemprov. Salah satunya, mengintegrasikan syarat uji emisi dengan pengelolaan parkir.
Agung Pujo menjelaskan, DLH juga berkoordinasi dengan Unit Pengelola Perparkiran Dinas Perhubungan DKI.
Menggunakan aplikasi perparkiran, hasil uji emisi masing-masing kendaraan bisa diketahui di tempat parkir. Menurut Agung, skema sanksi masih dibahas tetapi kemungkinan bisa berupa menetapkan biaya parkir lebih tinggi untuk kendaraan yang belum uji emisi atau sudah diuji tapi belum lulus.
Meski demikian, DLH DKI tetap berusaha agar hasil uji emisi nantinya bisa menjadi tambahan syarat untuk membayar pajak kendaraan. Jika kendaraan belum menjalani uji emisi, atau sudah diuji tetapi tidak lulus, pemilik tidak bisa membayar pajak.
Surat kendaraan dengan demikian tidak sah karena pajak belum dibayar, sehingga polisi lalu lintas berwenang mengenakan tilang saat kendaraan melintas di jalan raya. jadi, tilang bukan karena belum uji emisi, melainkan karena surat kendaraan tidak sah.
Agung menyebutkan, Pemprov DKI menargetkan kewajiban uji emisi sebagai syarat membayar pajak kendaraan bisa diterapkan mulai 2021. Namun, ini juga bergantung koordinasi antar pihak, apalagi penetapan pajak kendaraan bergantung pada kebijakan pemerintah pusat juga, di antaranya Kementerian Keuangan.
Garasi kendaraan
Kepala Divisi Manajemen Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Hadi Susilo Arifin, mendesak agar bukti kepemilikan garasi di rumah menjadi syarat memiliki mobil pribadi.
Bukti garasi itu dibutuhkan agar pembelian kendaraan pribadi menurun dan warga lebih memilih naik angkutan umum.
Dari pengalaman Hadi saat menempuh pendidikan tinggi di Jepang, calon pembeli mobil mesti memperlihatkan gambar izin mendirikan bangunan (IMB) ke diler untuk menunjukkan bahwa ia memiliki chūshajō (tempat parkir) di properti pribadi, atau punya bukti menyewa lahan parkir berbayar. Jika tidak ada bukti itu, penjual mobil tidak akan memproses pembelian.
Strategi lainnya, menerapkan tarif parkir yang mahal. Hadi mengatakan, sewa lahan parkir untuk satu mobil di Okayama, Jepang, bisa mencapai Rp 10 juta per bulan.
“Di Tokyo, bisa mencapai Rp 40 juta per bulan,” tuturnya.
Transportasi umum
Gembong Warsono, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Senin, menegaskan Pemprov DKI Jakarta tidak serius melakukan pengurangan pencemaran udara. Ia menyarankan langkah awal yang bisa dilakukan adalah penyediaan transportasi umum yang aman, nyaman, dan menjangkau seluruh kota sehingga terjadi perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum.
“Ini PR besarnya Pemprov DKI bagaimana melakukan koneksi antar moda transportasi, sehingga warga akan lebih mudah. Padahal Jakarta baru saja mendapat penghargaan tentang transportasi. Nah ini pekerjaan semua. Kalau itu sudah bisa dilakukan saya yakin pemindahan warga dari kendaraan pribadi ke transportasi massal akan berjalan,” katanya.
Gembong sepakat agar syarat uji emisi digunakan sebagai perpanjangan STNK saja tidak berjalan. Apalagi pembatasan kepemilikan kendaraan dengan syarat kepemilikan garasi.
Pembatasan kendaraan di jalan-jalan protokol pun ia lihat tidak maksimal. Kalau bisa jalan berbayar elektronik (ERP) segera diterapkan.
Berita ini termuat dalam sumber: https://kompas.id/baca/utama/2019/07/02/cegah-polusi-dari-aturan/