JAKARTA, KOMPAS.com – Buruknya kualitas udara di Jakarta jadi perbincangan belakangan ini setelah penyedia data polusi kota-kota besar dunia, AirVisual pada Selasa (25/6/2019) lalu, menunjukkan Jakarta masuk dalam empat kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago. Selasa pagi itu, indeks kualitas udara Jakarta menyentuh angka 164, masuk dalam kategori tidak sehat (151-200). Namun, Pemprov DKI melalui Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih berdalih, kualitas udara Jakarta tak seburuk itu. Ia menjelaskan, standar pengukuran pencemaran udara versi pemerintah dan AirVisual tidak sama.
Andono Warih menyatakan, standar pengukuran pencemaran udara di Indonesia, termasuk Jakarta, bersandar pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Dokumen itu hanya mengatur standar untuk menghitung ISPU di Indonesia menggunakan parameter partikel debu berukuran 10 mikron (PM 10).
Sementara itu, data AirVisual menggunakan parameter PM 2,5, partikel debu berukuran kurang dari 2,5 mikron.
Saking halusnya, partikel 2,5 mikron sanggup menembus masker dan sulit disaring oleh bulu hidung, sehingga besar kemungkinan menyusup sampai paru-paru dalam jumlah besar.
Bahaya ini juga diakui oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO. Menurut WHO, PM 10 masuk kategori partikulat kasar yang dampaknya terhadap kesehatan tidak separah PM 2,5.
“Partikel 10 mikron bisa masuk dan mengendap di paru-paru. Tapi, yang lebih berbahaya lagi yakni partikel berukuran kurang dari 2,5 mikron yang bisa menembus sekat paru-paru dan masuk ke aliran darah,” tulis WHO dalam situs resminya.
Standar pemerintah tak sesuai zaman
Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin alias Puput menilai, polemik soal perbedaan standar parameter pencemaran udara versi pemerintah dan WHO tak berhenti pada PM 2,5 dan PM 10. Pemerintah menerapkan standar ISPU yang terlalu longgar dibandingkan standar WHO yang mestinya jadi acuan internasional. “Ini sebabnya, masyarakat sipil mengatakan terjadi pencemaran, kondisi udara tidak sehat, tapi pemerintah bilang masih sedang, masih aman. Karena masyarakat sipil menggunakan standar WHO,” kata Puput kepada wartawan, Jumat pekan lalu.
Jika menggunakan parameter pemerintah selama ini, yakni PM 10, WHO menetapkan bahwa kualitas udara “baik” jika jumlah PM 10 maksimal sebanyak 20 ug/m3 (mikrogram per meter kubik). Sementara itu, versi Kementerian LHK, kualitas udara “baik” ditoleransi hingga 51 ug/m3.
KPBB mencatat, sekalipun pemerintah menggunakan PM 2,5 sebagai parameter, standarnya pun jauh lebih longgar. Dikutip dari data KPBB, konsentrasi PM 2,5 sebesar 65 ug/m3 dikategorikan “sangat tidak sehat” oleh WHO, sedangkan pemerintah mengategorikannya “sedang”. “Rata-rata konsentrasi PM 2,5 di Jakarta itu 45,6 ug/m3 pada 2018 dan dianggap “sedang” oleh pemerintah. Padahal menurut WHO itu sudah kategori “tidak sehat” (35-55 ug/m3). Ini polemik tolok ukur,” kata Puput.
Puput juga menilai, pemerintah tak pernah merevisi standar ISPU walau zaman sudah banyak berubah sejak Keputusan Menteri Lingkungan Hidup diundangkan pada 1997. Padahal, pemerintah melalui PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara membuka kemungkinan bagi peninjauan ulang baku mutu udara setiap lima tahun.
“Ini artinya sudah 20 tahun, tapi enggak pernah direvisi,” ujar Puput.
Revisi ini dinilai penting untuk menentukan langkah pengendalian pencemaran udara, terlebih di Jakarta. Standar WHO tentu layak dijadikan acuan.
“Namanya manusia kan seluruh dunia kurang lebih daya tahannya terhadap polusi kan sama. Kalau pakai aturan pemerintah kita, orang Indonesia seakan lebih sakti terhadap pencemaran udara dibanding orang Amerika, Eropa, Cina, dan sebagainya,” kata Puput.
“Standar WHO ini kan sangat mendasar dalam perlindungan manusia, apalagi kita punya konvensi yang ditandatangani, sudah diratifikasi di PBB. Ngapain kita kok enggak pakai?”
Pemerintah diminta tidak berkelit
Resistensi pemerintah, dalam konteks ini Pemprov DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Ibu Kota tidak dalam kondisi buruk dinilai bisa memperburuk penanganan masalah polusi udara itu sendiri.
“Pemerintah enggak usah takut, harusnya ini dihadapi dengan penjelasan pada publik dan mengambil langkah konkret. Jangan sibuk resisten bertahan atau membantah bahwa tidak terjadi pencemaran,” desak Puput.
Menurutnya, warga tidak akan marah dan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada pemerintah jika pemerintah mengakui masalah pencemaran udara. Malah, Puput menilai hal ini dapat dijadikan pintu masuk untuk penanganan masalah polusi udara yang kian parah di Jakarta dengan pendekatan partisipatif.
“Justru dengan data seperti ini, pemerintah bisa membalikkan pada publik, bahwa publik harus partisipasi buat menurunkan ini. Pemerintah bisa berkata, ‘Mobil, sepeda motor kalian sudah uji emisi belum? Kalian jangan pakai lagi bahan bakar pencemar, seperti premium, pertalite, solar 48 (bio solar)’,” tegas Puput.
Puput juga menganggap pemerintah lebih baik mengerjakan langkah konkret untuk menekan tingkat polusi ketimbang sibuk mengklarifikasi kabar soal polusi udara.
Salah satu langkah konkret yang dapat ditempuh adalah mengadakan razia emisi kendaraan bermotor yang melibatkan sinergi Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya. Langkah ini dinilai bisa menjadi solusi jangka pendek bagi masalah polusi udara Jakarta.
“Kan undang-undangnya mengatakan, setiap kendaraan mobil dan motor beroperasi di jalan raya wajib memenuhi emisi. Itu harusnya dirazia. Ditambah lagi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pencemaran udara. Jadi polisi dan dinas lingkungan harus bekerja sama soal itu,” ujar Puput yang merujuk ke Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Namun, hingga saat ini uji emisi kendaraan diperlakukan hanya sebagai “kegiatan sukarela”.
“Razia emisi itu tidak perlu tiap hari, tiga bulan sekali cukup. Dua jam saja. Katakanlah dalam dua jam itu kita merazia 100 mobil atau motor. Hanya dua kendaraan saja kendaraan yang ketahuan tidak memenuhi standar, terus ditindaklanjuti ke pengadilan, terus hakim memberikan denda Rp 2 juta,” papar Puput.
“Itu kan sudah menjadi informasi yang positif untuk pengendara yang lain. ‘Wah sekarang (emisi) sudah ada razia ya’. Dengan begitu, mereka akan takut dan bakal mengecek kendaraannya. Efek itu kan penting kan. Yang ditangkap cuma satu, tapi satu orang yang ditangkap, ini akan memengaruhi 10 juta orang,” tambah dia.
Berita ini termuat dalamĀ https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/01/07024041/polusi-udara-jakarta-sulit-dibereskan-karena-tiga-hal-ini?page=1