Rotterdam, 10 Juli 2019.
Kegiatan 2019 Urban Resilience Summit ini merupakan ajang berbagi kesempatan bagi para pesertanya untuk belajar dari berbagai praktik unggulan (best practices) yang telah dilakukan oleh kota Rotterdam dalam menyelesaikan berbagai isu perkotaan yang dialami. Kegaitan ini turut dihadiri oleh para pemimpin dan perwakilan kota yang tergabung dalam jejaring 100RC, mitra, dan sponsor 100RC.
Pada hari ketiga, kegiatan ini akan terbagi ke dalam 2 (dua) sesi, yaitu: (i) Sesi Pleno (Plenary Session) dan (ii) Sesi Kunjungan Lapangan (Living Lab).
Sesi pleno akan menghadirkan diskusi dan pembelajaran dari beberapa kota di Jejaring 100 Resilient Cities (100RC) yang menjadi penyelenggara kegiatan 2019 Urban Resilience Summit, yaitu: (i) Rotterdam, Belanda dan (ii) The Hague (Den Haag), Belanda. Sedangkan, sesi kunjungan lapangan (Living Lab) diselenggarakan sebagai sarana berbagi pengalaman, ide, dan pembelajaran dari kota Rotterdam dan The Hague dalam membangun ketahanan kota.
Sesi pleno dibuka oleh Walikota The Hague yang menjelaskan bahwa The Hague memandang individu sebagai aspek terpenting untuk meningkatkan ketahanan kota. Dengan meningkatkan ketahanan individu, maka akan tercipta pula komunitas yang berketahanan sekaligus berkontribusi dalam perwujudan kota berketahanan. Selain individu, The Hague juga memandang bahwa internet menjadi aspek penting lain dalam membangun ketahanan kota. Internet dipandang perlu dapat diakses secara aman oleh seluruh penduduk kota sehingga semua orang tidak tertinggal terkait informasi (no one left behind). Keberadaan internet juga mempengaruhi kondisi kohesi sosial kota. Untuk memastikan penggunaan internet yang tepat guna, The Hague juga mementingkan aspek edukasi bagi seluruh penduduknya sehingga tercipta kohesi sosial yang baik antarpenduduk. The Hague juga memandang bahwa strategi yang telah disusun harus dapat diimplementasikan oleh penduduk dari level terkecil. Oleh karena itu, The Hague, seperti halnya Rotterdam, turut menekankan pentingnya Ketahanan Sosial (Social Resiliency) dalam membangun ketahanan kotanya.
Pada Sesi Pleno, terdapat beberapa hal penting berupa:
- Rotterdam, Belanda
- Rotterdam merupakan kota pelabuhan dan pekerja yang memiliki penduduk dari berbagai latar belakang sehingga agenda utama Rotterdam adalah Ketahanan Sosial (Social Resiliency). Di sisi lain, aspek energi juga menjadi penting untuk diperhatikan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Rotterdam dan Belanda secara umum. Oleh karena itu, aspek berkelanjutan menjadi aus utama sehingga perlu langkah transisi penggunaan energi ke energi terbarukan.
- The Hague (Den Haag), Belanda
- The Hague dikenal sebagai the city of justice. Oleh karena itu, The Hague melihat bahwa untuk menjadi berketahanan adalah dengan berlaku adil kepada semua penduduknya. The Hague akan bisa menjadi adil apabila dapat memberikan akses yang setara pada penduduknya terhadap lapangan pekerjaan, layanan kesehatan, dan kemajuan teknologi (digitalisasi). Oleh karena itu, internet dan kohesi sosial menjadi aspek penting bagi upaya The Hague dalam mempertemukan berbagai keinginan penduduk (connecting people).
Pada sesi pleno ini, Rotterdam dan The Hague bersepakat untuk melaksanakan pelatihan terkait ketahanan kota kepada para petinggi kota sehingga mimpi ‘Belanda Berketahanan’ dapat terwujud.
Sesi pleno ditutup dengan paparan dari Henk Ovink, Special Envoy for Water Affairs, Kingdom of the Netherlands yang menekankan pentinngnya untuk melihat ke depan (looking ahead) agar bisa memahami betapa rentannya kota (terhadap guncangan dan tekanan) sehingga bertindak menuju ke arah yang lebih baik. Mempertimbangkan hal tersebut, kota dipandang perlu untuk memiliki tujuan visioner yang diiringi dengan berbagai aksi secara perlahan (incremental acts). Sleain itu dibutuhkan pula berbagai enabling environment agar visi tersebut dapat terwujud. Enabling environment ini dapat diwujudkan dengan membuat seluruh pemangku kepentingan paham dan turut bertindak sehingga tercapai sebuah kolaborasi. Sebagai contoh, Belanda telah memulai kolaborasi (antara 20 wilayah di Belanda) dari tahun 1122 untuk membangun tanggul demi bertahan.
Pada Sesi Kunjungan Lapangan (Living Lab), Sekretariat Jakarta Berketahanan dan Pemprov DKI Jakarta berkesempatan untuk mempelajari dan saling bertukar pengalaman langsung dengan berbagai institusi baik pemerintah, semi-pemerintah, maupun non-pemerintah Kota Rotterdam terkait aspek inovasi pengelolaan sampah dengan konsep “Upcycling” dan “circular economy” melalui kunjungan lapangan. Adapun rangkaian kegiatan kunjungan adalah sebagai berikut:
- Perusahaan Pengelola Sampah: AVR Waste
- Pertama kali beroperasi di 1968, AVR Waste merupakan perusahaan milik pemerintah yang mengelola sampah kota Rotterdam dengan metode pembuangan langsung ke landfill. Namun, metode tersebut dipandang kurnag tepat sehingga mulai beralih ke insinerator pada 1973. Insinerator ini juga berperan sebagai pembangkit listrik (waste to energy/ WTE).
- AVR Waste berkembang menjadi perusahaan swasta yang mampu mengelola 2 Juta Ton sampah di setiap tahunnya.
- AVR Waste bahkan juga mengelola sampah dari kota tetangga Rotterdam (Leiden dan Utrecht), bahkan dari Irlandia.
- AVR Waste juga memiliki tempat penampungan sampah sementara yang bisa menampung sekitar 12 Ribu Ton sampah (setara dengan timbulan sampah Rotterdam selama seminggu).
- AVR Waste juga memiliki mesin pemilah sampah (plastik, besi, dan baja) yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi pembakaran insinerator.
- Besar investasi keseluruhan fasilitas pengolahan sampah (insinerator, tempat penampungan, mesin pemilah) mencapai € 30Juta.
- Fasilitas Koleksi Sampah Rumah Tangga untuk Daur Ulang di Milieupark
- Merupakan fasilitas pengelolaan sampah milik Pemerintah Rotterdam (terdapat di 7[tujuh] lokasi berbeda di Rotterdam) yang melayani penduduk yang inigin membuang sampah rumah tangga dengan ukuran lebih besar (meja, kursi, pipa, kompor, karpet, kasur).
- Didirikan dengan tujuan untuk memaksimalkan penggunaan suatu barang sebelum didaur ulang dan/atau dibuang seutuhnya (reuse dan recycle).
- Fasilitas ini juga menyalurkan sampah kepada toko barang bekas dengan cuma-cuma untuk meningkatkan tingkat daur ulang.
- Fasilitas ini juga menggunakan pendekatan peningkatan kesadaran (raising awareness) dan menstimulasi pertumbuhan aktivitas ekonomi di bidang circular economy.
- Lokasi kolaborasi para pengusaha yang berfokous pada Circular Economy di Blue City
- Merupakan bekas kolam renang yang sekarang dikelola oleh pihak swasta dan dimanfaatkan kembali sebagai pusat pengembangan konsep circular economy.
- Blue City membuka kesempatan bagi para pengusaha start-up yang ingin mengembangkan konsep circular economy (saat ini terdapat 35 pengusaha di Blue City).
- Blue city juga mendorong para pengusaha untuk saling memanfaatkan residu hasil produksi pengusaha untuk dapat digunakan oleh pengusaha lain di Blue City sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara para pengusaha yang berada di Blue City. Hal ini juga menandakan bahwa Blue City juga menjalankan skema Circular Economy secara utuh.
- Bekas kolam renang di Blue City akan dikembangkan menjadi taman semi-indoor dengan proses desain yang invatif dan menggunakan konsep circular economy (saat ini masih dalam tahap pengembangan ide).
- Taman apung yang dibuat melalui pengelolaan sampah plastik di Recycled Park.
- Proyek ini berkembang dari sebuah kegiatan membersihkan lingkungan perairan Rotterdam dari sampah plastik di 2014.
- Terinspirasi dari sampah plastik yang terus mengapung di atas air, tercetus sebuah ide untuk memanfaatkan kembali sampah plastik untuk menciptakan taman apung sehingga dapat mendukung berkembangnya biodiversity di Rotterdam.
- Taman apung diciptakan dengan mengolah sampah plastik menjadi ‘blok apung’ (floating blocks) yang dikembangkan dengan dana mencapai € 5Juta
- Recycled Park juga sedang mengembangkan sistem penangkap sampah plastik (litter trap) di perairan yang akan membantu pihak terkait dalam membersihkan sampah plastik dari sistem perairan mereka. Investasi terhadap sistem ini akan mencapai € 40-50 Juta).