Rotterdam, 9 Juli 2019.
Kegiatan 2019 Urban Resilience Summit ini merupakan ajang berbagi kesempatan bagi para pesertanya untuk belajar dari berbagai praktik unggulan (best practices) yang telah dilakukan oleh kota Rotterdam dalam menyelesaikan berbagai isu perkotaan yang dialami. Kegaitan ini turut dihadiri oleh para pemimpin dan perwakilan kota yang tergabung dalam jejaring 100RC, mitra, dan sponsor 100RC.
Pada hari kedua, kegiatan ini akan terbagi ke dalam 2 (dua) sesi, yaitu: (i) Sesi Pleno (Plenary Session) dan (ii) Sesi Berjejaring.
Sesi pleno akan menghadirkan diskusi dan pembelajaran dari beberapa kota di Jejaring 100 Resilient Cities (100RC), yaitu: (i) Honolulu, Amerika Serikat; (ii) Christchurch, Selandia Baru; (iii) Calgary, Kanada; dan (iv) Cape Town, Afrika Selatan. Sedangkan, sesi berjejaring diselenggarakan sebagai sarana berbagi pengalaman, ide, dan pembelajaran dari berbagai kota dan mitra 100RC lainnya dalam membangun ketahanan kota.
Sesi pleno dibuka oleh Walikota Rotterdam dengan menjelaskan bahwa Rotterdam yang berada pada 7m di bawah permukaan laut merupakan kota yang sudah terbiasa untuk berketahanan, terutama dalam beradaptasi dengan air. Dalam meningkatkan ketahanan kota, Rotterdam berfokus untuk berinvestasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang juga berdampak pada meningkatnya kohesi sosial kota. Oleh karena itu, Rotterdam menekankan pada Ketahanan Sosial (Social Resiliency) dalam membangun ketahanan kotanya.
CRO Rotterdam juga menjelaskan bahwa dalam prosesnya menuju kota berketahanan, Rotterdam telah berhasil memiliki beberapa pencapaian, yaitu: Rotterdam telah berhasil menjadi pusat pembelajaran (center of excellence) ketahanan kota. Hal ini tercermin dengan telah dicanangkannya wilayah Botu, Rotterdam sebagai wilayah berketahanan (Resilient Botu 2028) serta tersusunnya beberapa modul untuk menjalankan proyek berketahanan (Resilient by Design, Resilient Rooftop, Resilient Engineering).
Michael Berkowitz, Presiden 100RC, turut membuka acara dengan menjelaskan bahwa Rotterdam bisa menjadi contoh bagi kota lain dalam membangun ketahanan kota secara holistik. Berkaca dari awal perjalanan 100RC pada tahun 2014, Rotterdam telah menjadi contoh yang baik dalam upaya membangun ketahanan kota dengan gigih. Dalam pidatonya, Presiden 100RC juga menyebutkan bahwa membangun ketahanan kota adalah dengan membangun kampiun (champions) yang berani mengambil langkah ke depan (act) dengan berkolaborasi (initiate partnership) sehingga bisa membiayai seluruh upaya yang dilakukan (funding).
Pada Sesi Pleno, terdapat beberapa hal penting berupa:
- Honolulu, Amerika Serikat
- Honolulu merupakan kota yang terisolasi dari wilayah Amerika Serikat lainnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena kondisi terisolasi tersebut, dana pembangunan kota menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kota lainnya. Upaya Honolulu dalam membangun ketahanan kotanya adalah dengan menjalankan skema pendanaan berketahanan untuk berbagai proyek berketahanan. Untuk menjamin keberhasilan nya, Honolulu juga menanamkan nilai ketahanan dari level masyarakat, swasta, akademisi, hingga pemerintah.
- Christchurch, Selandia Baru
- Kota Christchurch yang baru saja mengalami aksi terror menyadari bahwa social capital menjadi hal terpenting dalam membangun ketahanan kota. Dengan berinvestasi pada social capital, kohesi sosial akan meningkat dan kondisi kota akan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, Christchurch berfokus pada upaya menanamkan bahwa kondisi yang harusnya terjadi di kota adalah berketahanan, bukan kondisi lainnya (creating a new normal).
- Calgary, Kanada
- Meskipun Calgary merupakan kota yang rawan terhadap bencana alam akibat lingkungannya, Calgary juga berfokus pada ketahanan ekonomi kotanya. Calgary memandang bahwa dengan membangun Calgary yang berketahanan secara ekonomi (dengan membina banyak pengusaha/entrepreneurs), Calgary akan bisa bertahan menghadapi berbagai ancaman.
- Cape Town, Afrika Selatan
- Masalah ketersediaan air bersih menjadi isu utama bagi kota Cape Town yang memiliki 4,3 Juta Penduduk. Mengingat potensi untuk menambah debit air dari sumber air merupakan upaya yang sulit, Cape Town berfokus untuk mengurangi penggunaan air penduduknya (demand management). Hal utama dari upaya ini adalah keterbukaan pemerintah kepada masyarakat sehingga menimbulkan rasa urgensi dan masyarakat membantu pemerintah dalam mengurangi konsumsi air.
Di akhir Pleno, 100RC juga menjelaskan bahwa setelah Juli 2019 program 100RC akan dilanjutkan dalam format baru bertajuk “Climate and Resilience Initiative” yang akan melanjutkan jejaring (kota, mitra, dan dukungan teknis 100RC) dengan format yang berbeda dengan pendanaan sebesar $8.000.000 dari The Rockefeller Foundation.
Pada Sesi Berjejaring, Sekretariat Jakarta Berketahanan dan Pemprov DKI Jakarta berkesempatan untuk berdiskusi dengan Ocean Conservancy dan kota lain (termasuk Semarang, Santa Fe, Melaka, Porto Alegre, California, Surat, dan Chennai) terkait isu pengelolaan sampah plastik. Pada kesempatan ini dipaparkan bahwa Indonesia menjadi negara ke-3 terbesar yang berkontribusi terhadap sampah plastik yang tersebar di lautan lepas. Hal ini menandakan perlunya intervensi untuk mengurangi sampah plastik yang tak terkelola di Indonesia. Di sisi lain, ditemukenali bahwa upaya pelarangan penggunaan plastik hanya mampu mengurangi sampah plastik sebesar 0.1%. Upaya yang memberikan dampak terbesar adalah melalui pengarusutamaan proses daur ulang/recycle (23-53%) dan skema lisensi penggunaan plastik kepada pemangku kepentingan sekaligus peningkatan kesadaran masyarakat (32-60%). Hal ini membantu Sekretariat Jakarta Berketahanan dan Pemprov DKI Jakarta dalam menentukan pendekatan yang tepat terkait pengelolaan sampah Jakarta, terutama sampah plastik. (Pengelolaan sampah merupakan salah satu aspek penting untuk mewujudkan pilar Jakarta SEHAT).