”Apa alat transportasi yang hampir semua orang punya?” Pertanyaan tersebut disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat mencanangkan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-492 DKI Jakarta di Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (27/4/2019) lalu.
Dulu mungkin orang akan menjawab, kereta angin atau sepeda sebagai alat transportasi yang hampir semua orang punya dan menggunakannya. Saat ini ketika kredit sepeda motor mudah murah, orang akan menjawab kendaraan bermotor beroda dua itulah yang kini hampir dimiliki semua orang.
Semua jawaban itu salah!
Menurut Anies, jawabannya adalah kaki. ”Kaki adalah alat transportasi yang insya Allah kita semua punya”. Orang Jawa sebenarnya sudah lama menjawab ”sikil” (kaki) jika ditanya pakai apa bepergian. Cara bercanda.
Mendadak sontak ”kaki sebagai alat transportasi” itu mendapat tanggapan ramai. Bahkan, seorang warganet sampai mengutip definisi apa yang dimaksud alat transportasi dari buku pelajaran SD.
”Alat transportasi merupakan sarana untuk mempermudah suatu jarak tempuh. Transportasi adalah perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin”.
”Alat transportasi merupakan sarana untuk mempermudah suatu jarak tempuh. Transportasi adalah perpindahan manusia atau barang dari stu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin”.
Itulah.
”Kita sering kali kalau mikir transportasi, tidak memikirkan kaki. Segalanya langsung naik (sepeda) motor, naik mobil,” kata Anies seperti dikutip berbagai media.
Sebenarnya terlepas dari keriuhan soal kaki sebagai alat transportasi, upaya Gubernur DKI Jakarta untuk mengutamakan pejalan kaki dengan berbagai kemudahan patutlah disambut baik.
Meneruskan gubernur sebelumnya, fasilitas pedestarian di Ibu Kota sudah lebih dari lumayan dibandingkan dengan zaman dulu. Trotoar yang lebar dan nyaman untuk berjalan kaki mulai tersedia. Memang sejumlah kekurangan ada, seperti pemasangan lantai petunjuk buat tunanetra yang dibangun menabrak pohon atau mentok. Tetapi itu—sebut saja—kekurangan minor karena kecerobohan pemborong.
Beberapa waktu lalu, sebuah riset para peneliti dari Universitas Stanford menyebutkan bangsa Indonesia ”juara dunia” sebagai bangsa paling malas berjalan kaki. Orang kita tercatat hanya melangkahkan ”sikilnya” 3.513 langkah per hari.
Beberapa waktu lalu, sebuah riset para peneliti dari Universitas Stanford menyebutkan bangsa Indonesia ”juara dunia” sebagai bangsa paling malas berjalan kaki. Orang kita tercatat hanya melangkahkan ”sikilnya” 3.513 langkah per hari.
Bandingkan dengan rata-rata langkah kaki penduduk dunia sebanyak 4.961 langkah per hari. Sebagai gambaran rata-rata orang Hong Kong berjalan kaki sebanyak 6.880 langkah setiap hari, China (6.189 langkah per hari); Jepang (6.010), Spanyol (5.936), Inggris (5.444), atau Amerika Serikat (4.774).
Menyediakan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman merupakan bagian dari manajemen lalu lintas. Di banyak negara maju, kota-kota menempatkan pejalan kaki di tempat utama dalam hirarki lalu lintas. Pejalan kaki, pesepeda kemudian di bawahnya adalah kendaraan bermotor dari sepeda motor atau mobil.
Kebijakan ”ganjen”–ganjil genap—yang diperluas yang juga mengundang kontroversi para pengabdi kendaraan pribadi juga sebenarnya merupakan upaya menjadikan kota semakin nyaman. Kebijakan tersebut diharapkan bisa mengurangi kemacetan Ibu Kota.
Banyak langkah text books untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dari memahalkan tarif parkir, pembatasan kendaraan dengan jalan berbayar atau ERP (electronic road pricing) dan sebagainya.
Simpelnya, pengguna kendaraan pribadi akan memarkir kendaraanya di luar lingkaran kebijakan ganjen. Mereka akan meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki dan naik angkutan umum yang mestinya semakin baik.
Akan tetapi, memang jalan masih panjang. Orang masih menagih angkutan umum yang nyaman dan aman, park and ride juga masih seadanya.
Penjelasan program teknis yang disampaikan kepada publik terlalu berbunga-bunga malah melebar ke mana-mana dan mengundang tanggapan receh. Bukan sekadar soal sikil ataupun kebijakan ”ganjen”.
Penjelasan program teknis yang disampaikan kepada publik terlalu berbunga-bunga malah melebar ke mana-mana dan mengundang tanggapan receh. Bukan sekadar soal sikil ataupun kebijakan ”ganjen”.
Menata kota memang bukan sekadar menata kata.
berita ini termuat dalam sumber : https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/08/18/sikil-ganjen/