JAKARTA, KOMPAS – Tujuh inisiatif DKI Jakarta untuk menanggulangi polusi udara dicanangkan untuk dilaksanakan dari 2019 hingga 2025. Tahap pertama pada 2019 ini adalah perluasan ganjil genap serta penerapan peningkatan tarif parkir.
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Dinas LH DKI Agung Pujo Winarko mengatakan, untuk meredam polusi udara Jakarta, sudah ada kegiatan strategis daerah baru untuk Provinsi DKI Jakarta, yaitu pengendalian kualitas udara. Pengendalian ini diterjemahkan dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No 66/2019 yang isinya tujuh inisiatif pengendalian kualitas udara.
”Tujuh inisiatif ini diterjemahkan ke dalam rencana-rencana aksi,” katanya di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Inisiatif pertama adalah memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalan serta menyelesaikan peremajaan seluruh angkutan umum melalui program Jak Lingko pada 2020.
Inisiatif kedua mendorong partisipasi warga dalam pengendalian kualitas udara melalui perluasan kebijakan ganjil genap dan peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum massal mulai pada 2019, serta penerapan kebijakan congestion pricing yang dikaitkan pada pengendalian kualitas udara pada 2021.
Iniasiatif ketiga, yaitu memperketat ketentuan uji emisi bagi semua kendaraan pribadi mulai pada 2019 dan memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dan 10 tahun yang dapat beroperasi di wilayah DKI Jakarta pada 2025.
Inisiatif keempat adalah mendorong peralihan ke moda transportasi umum dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki melalui percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki di 25 ruas jalan protokol, arteri, dan penghubung ke angkutan umum massal pada 2020.
Adapun inisiatif kelima adalah memperketat pengendalian terhadap sumber penghasil polutan tidak bergerak khususnya pada cerobong industri aktif yang menghasilkan polutan melebihi nilai maksimum baku mutu emisi yang berada di wilayah DKI Jakarta mulai pada 2019.
Inisiatif keenam dan ketujuh meliputi penghijauan dan mendorong bangunan ramah lingkungan (green building) pada 2019 serta merintis peralihan ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dengan menginstalasi panel tenaga surya di atap sekolah dan gedung-gedung pemerintah.
Sementara itu, sejumlah penyakit pun rentan mengincar warga Jakarta akibat buruknya kualitas udara. Sejak Juli lalu, Dinas Kesehatan DKI Jakarta sudah melakukan promosi kesehatan untuk mengurangi dampak polusi pada masyarakat seperti mengurangi kegiatan di luar bangunan, tidak membakar sampah, serta mengenakan masker saat menderita flu ataupun infeksi saluran pernafasan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dwi Oktavia mengatakan, penyakit yang diakibatkan oleh dampak polusi udara adalah gangguan pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), iritasi mata, penyakit akibat gangguan jantung dan pembuluh darah, penurunan sistem kekebalan tubuh, dan dapat menyebabkan kanker apabila terpapar polusi udara dalam jangka panjang.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), diperoleh data gambaran penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di DKI Jakarta. Pada 2018, prevalensi asma kambuh di Jakarta masih sangat tinggi, yaitu 52,7 persen.
Adapun prevalensi penyakit lain yang bisa dipicu polusi udara adalah ISPA dengan prevalensi 2,7 persen, ISPA anak balita dengan prevalensi 5,4 persen, pneumonia (2,2 persen), pneumonia anak balita (2 persen), dan asma (2,6 persen).
Jumlah kasus ISPA DKI Jakarta pada Januari, Februari, dan Maret 2019 ini meningkat daripada periode sama tahun-tahun sebelumnya. Pada Januari ada 178.501 kasus, Februari ada 232.403 kasus, Maret ada 202.034 kasus, April ada 165.105 kasus, dan Mei ada 127.227 kasus.
Sementara pada periode sama tahun-tahun sebelumnya, kasus ISPA di Jakarta tak lebih dari 200.000 kasus per bulan. Jumlah kasus ISPA pada Januari-Mei 2019 sebanyak 905.270 kasus. Berdasarkan laporan rutin dari fasilitas pelayanan kesehatan di DKI Jakarta, jumlah kasus ISPA pada 2016 sampai 2018 berturut-turut sebanyak 1.801.968 kasus (2016), 1.846.180 kasus (2017), dan 1.817.579 kasus (2018).
Pola selama ini, kata Dwi, jumlah kasus ISPA meningkat pada awal tahun lalu menurun pada triwulan kedua, tetapi kembali naik pada triwulan ketiga. Penyebab kejadian ISPA beragam, bukan hanya disebabkan polusi udara.
Hal ini terlihat dari tren penurunan jumlah kasus pada triwulan II, ketika menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), DKI Jakarta mengalami musim kemarau dan konsentrasi polutan terakumulasi di udara. Karena itu, kata Dwi, perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian faktor penyebab kejadian ISPA lainnya.
Berita ini termuat dalam sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/08/21/tujuh-inisiatif-dki-redam-polusi-udara/