BeritaJakarta BerketahananKliping

Bekasi, Kota Rawa-rawa yang Langganan Banjir sejak Zaman Kerajaan

BEKASI, KOMPAS.com – Banjir Tahun Baru 2020 Rabu (1/1/2020) lalu bukan hanya menenggelamkan Jakarta, melainkan hampir seluruh wilayah Jabodetabek.
Banjir di Kota Bekasi disebut yang paling parah dengan sembilan korban jiwa, ratusan ribu pengungsi, dan sekitar 70 persen wilayah terendam air keruh.
Bukan hanya paling parah se-Jabodetabek, banjir di Kota Bekasi tahun ini disebut sebagai banjir paling parah sepanjang sejarah Bekasi.
“Kita hampir merata. Dalam sejarahnya, banjir Bekasi belum pernah separah itu,” kata Rahmat Effendi, Wali Kota Bekasi, pada Kamis (2/1/2020).
Sejarawan Bekasi, Ali Anwar membenarkan anggapan Rahmat. Sejauh catatannya, belum pernah Kota Bekasi direndam banjir hingga 70 persen wilayahnya.Bahkan, beberapa kawasan yang tak pernah kebanjiran, ikut terendam pada Tahun Baru 2020 lalu.
“Banjir paling besar terakhir tahun 2002, berbarengan dengan Jakarta yang saat itu kena banjir parah juga. Tapi, tahun ini paling parah,” ungkap Ali ketika ditemui Kompas.com di sebuah kedai kopi di bilangan Margahayu, Bekasi Timur, Jumat (10/1/2020) siang.
Banjir Bekasi era kerajaan dan kolonial
Ali Anwar menyebut, riwayat banjir besar di Bekasi sudah tercatat sejak berabad-abad silam. Kota Bekasi yang terletak di dataran rendah memang “dirancang” secara alamiah sebagai kota rawa-rawa. Abad 5 masehi, Raja Tarumanagara, Purnawarman bahkan membangun sodetan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati.
“Sodetan ini untuk mencegah banjir ke arah keraton dan pertanian,” kata Ali. Jejak banjir juga tampak dari moda transportasi yang digunakan masyarakat Bekasi kuno untuk beraktivitas. Meski banjir langganan melanda, namun dampak yang ditimbulkannya tak begitu besar.

Masyarakat kuno punya cara hidup yang bersahabat dengan alam, tunduk pada ketentuan alam. Mereka beradaptasi terhadap cara-cara alam bekerja, bukan menggagahinya dengan pembangunan yang mengabaikan dampak lingkungan.

“Selama berabad-abad masyarakat Bekasi hidup dengan mengandalkan Kali Bekasi menggunakan perahu. Jalan dan rumah yang berjejer dari Bogor sampai muara Bekasi menghadap ke sungai,” jelas Ali.
“Rumah dibangun di lokasi tinggi yang tak terjamah banjir. Kalau kena banjir, mereka membangun rumah panggung,” imbuhnya.
Peradaban baru yang memperparah banjir
Rongsokan pascabanjir bertimbunan di depan rumah warga di RW 008 Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi.
Rongsokan pascabanjir bertimbunan di depan rumah warga di RW 008 Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi. Rongsokan pascabanjir bertimbunan di depan rumah warga di RW 008 Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi.(KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN)
Memasuki Era Kolonial, pembangunan mulai merambah Bekasi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, HW Daendels membabat lahan untuk membentangkan jalan raya Pantura Bekasi-Cirebon di awal 1800.
Akhir 1800, dibangun rel kereta api dari Manggarai ke Kedunggedeh. “Moda transportasi mulai bergeser dr air ke jalan raya dan rel. Rumah mulai berpindah ke pinggir jalan. Jalan raya dan rel membuat jalan air terganggu, sehingga mulai banjir di sisi selatannya,” urai Ali Anwar.
Kali Bekasi dan Sungai Citarum mulai kerap meluap. Lahan pertanian langganan dilanda banjir.
“Tahun 1920-an, Sungai Citarum ditanggul dan berhasil mengurangi banjir. Tapi, pada 1924, 1926, dan 1933, banjir menenggelamkan rumah, jalan raya (Batavia, Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, Lemahabang, Kedunggedeh). Rel bergeser sampai bentuknya mengombak, jembatan rusak, rumah tenggelam,” Ali menjelaskan.
Banjir Bekasi Pascakemerdekaan
Banjir besar di Bekasi pascakemerdekaan terjadi perdana pada tahun 1961. “Sampai 200.000 warga Bekasi mengungsi. Jumlah itu mungkin separuh dari jumlah warga Bekasi kala itu,” ujar Ali. Banjir 1961 jadi permulaan penyakit-penyakit merebak pascabanjir.
Warga Kota Bekasi banyak terserang penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, seperti demam berdarah dan malaria. Wilayah Rawalumbu, yang merupakan kawasan rawa, jadi lokasi epidemi malaria setelah banjir surut.
Tahun 1973-1984, Pemerintah Kabupaten Bekasi (saat itu Bekasi belum terbagi menjadi kota dan kabupaten seperti sekarang) merampungkan pembangunan kanal Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) buat mengatasi masalah banjir itu.
“Setelah kanal CBL dibangun, air langsung surut, Bekasi bebas banjir. Karena CBL menyelesaikan banjir, pemerintah pede bebas banjir,” kata Ali. “Dampak lanjutannya, rawa-rawa di Kota Bekasi seperti tidak berguna lagi karena air sungai langsung menggelontor ke CBL,” lanjutnya
Merasa Bekasi tak akan banjir lagi sejak dibangunnya Kanal CBL, pemerintah pun membuka pintu lebar bagi pengusaha properti. Pembangunan kompleks perumahan pun terjadi dengan skala besar.
Banyak wilayah rawa dan bantaran Kali Bekasi yang mulanya berperan sebagai daerah tangkapan air lenyap berganti perumahan. Jejaknya masih dapat ditelusuri dari nama wilayah, seperti Rawapanjang, Rawalumbu, dan Rawatembaga yang kini sudah bukan rawa lagi.
“Tanah rawa di pinggir kali itu kan murah karena belum ada yang memiliki. Tanah negara,” kata Ali soal alasan para pengembang properti menyasar tanah rawa-rawa.
Permukiman di tepi sungai
Dekade 1980-1990, pembangunan kian gencar di Jakarta. Ekspansi penduduk Jakarta ke Bekasi pun semakin nyata, menimbulkan permintaan yang tinggi akan kawasan perumahan.
“Anda bisa lihat, Kemang Pratama, Kemang Ifi, Pondok Gede Permai, Vila Nusa Indah, Pondok Mitra Lestari (dulu Kemang View). Komplek elite itu semua di pinggir kali,” jelas Ali, tak yakin bila perumahan-perumahan itu steril dari uang pelicin buat memuluskan izin dari pemerintah.
“Perumahan yang dibangun, apakah legal atau ilegal itu, menutup lahan yang tadinya menyerap sehingga tidak bisa lagi meyerap karena ditutup sama beton,” kata dia. Masalah kian pelik setelah pemerintah pusat membangun Jalan Tol Jagorawi yang melintasi hulu Kali Bekasi. Pembangunan ini, menurut Ali, tak diimbangi dengan pembangunan sistem gorong-gorong yang lebar.
Malah, ekses Jalan Tol Jagorawi ini menimbulkan berkembangnya perumahan dan industri, yang berarti mencaplok lagi daerah tangkapan air.
“Kali Bekasi kian dangkal, sementara air amat deras melaju dari arah Puncak dan Bogor. Bendung Bekasi yang sudah tua kurang mampu menahan besarnya debit air dari Bogor dan Purwakarta (Kalimalang). Pembangunan polder air tak mampu menampung air hujan,” ujar Ali.

“Dampaknya banjir besar menyergap Bekasi pada 2002. Kemudian banjir dengan skala lebih kecil tahun 2005, 2007, 2012, sebelum banjir lagi tahun 2020,” imbuhnya. Banjir Tahun Baru 2020 yang merendam 70 persen wilayah Bekasi dengan catatan kedalaman maksimal 6 meter seakan membawa pesan. Tak mau tahu perumahan atau bukan, air sungai akan selalu mendamba kembali ke rawa, bukan beton.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Bekasi, Kota Rawa-rawa yang Langganan Banjir sejak Zaman Kerajaan”, https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/11/09504851/bekasi-kota-rawa-rawa-yang-langganan-banjir-sejak-zaman-kerajaan?page=all.
Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Foto Cover: Rombongan wartawan beserta pejabat Pemerintah Kota Bekasi memeriksa perumahan warga yang berada di sekitar tanggul Kali Bekasi dengan berjalan kaki di atas tanggul, Senin (6/1/2020).(KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN)
Show More

Related Articles

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com