Keadaan cuaca ekstrem akibat krisis iklim ternyata memiliki pengaruh buruk terhadap operasional pembangkit listrik.
Curah hujan tinggi, cuaca panas, dan petir dapat mengganggu transmisi serta distribusi jaringan listrik, yang bisa menimbulkan pemadaman listrik.
Sebuah laporan Bank Dunia tahun 2019 menunjukkan, krisis iklim menyebabkan 44% kejadian pemadaman di Amerika Serikat (AS) antara tahun 2000 dan 2017 dan 37% pemutusan listrik di Eropa antara tahun 2010 dan 2017.
Hal ini jelas merugikan baik bagi perusahaan penyedia tenaga listrik, konsumen dan pemerintah, hingga miliaran dollar AS per tahun.
Indonesia pun mengalami hal serupa.
Penelitian kami menemukan cuaca buruk dan krisis iklim menghambat rantai suplai listrik, termasuk pembangkitan listrik, transmisi, dan distribusi tenaga listrik, yang akhirnya mempengaruhi operasi PLN dan para konsumen listrik di Indonesia.
Kami melakukan kajian lapangan, wawancara dan diskusi grup terfokus pada bulan Februari hingga Maret 2018. Kajian ini juga dilengkapi dengan laporan internal PLN dan publikasi terkait sektor energi.
Hasil studi kami menunjukkan, setidaknya ada tiga kategori keadaan cuaca ekstrem yang dapat menganggu operasi pembangkit listrik di Indonesia.
1. Angin kencang dan hujan deras
Angin kencang disertai hujan deras merupakan ancaman signifikan terhadap distribusi jaringan listrik.
Kejadian angin kencang dan hujan deras ini menyebabkan 95% pemadaman listrik pada tahun 2014 hingga 2015 di wilayah Jawa-Bali.
Angin kencang dapat menumbangkan pohon, papan reklame, dan mengenai jaringan distribusi tenaga listrik sehingga menyebabkan pemadaman listrik.
Sementara itu hujan deras dapat menyebabkan pemadaman dikarenakan cabang pohon yang basah di sekitar jaringan distribusi tenaga listrik menjadi lebih berat sehingga menyentuh jaringan.
Hujan deras juga menyebabkan fasilitas pembangkit dan transmisi tenaga listrik lebih rentan terhadap banjir yang bisa berujung kepada pemadaman listrik darurat.
Sebuah contoh, peristiwa banjir besar di pesisir utara Jakarta pada Januari 2013 memaksa pembangkit listrik tenaga gas di Muara Karang untuk berhenti beroperasi selama 12 hari.
Selain itu, lebih dari 500 unit gardu induk listrik di daerah Jakarta Pusat yang tergenang air harus dimatikan demi alasan keamanan. Insiden ini merugikan negara AS$15 juta (sekitar Rp 204 miliar).
Pembangkit listrik batu bara dan gas juga tidak bebas dari risiko hujan deras dan kenaikan suhu air laut.
Hujan deras menghantarkan lebih banyak sampah ke area pembangkit listrik dan merusak sistem pendingin air dan, dalam skenario terburuk, juga mengharuskan pembangkit berhenti beroperasi.
Ditambah lagi, hujan deras membuat batu bara menjadi basah dan lengket sehingga menurunkan efisiensi pembakaran dan menurunkan produksi tenaga listrik.
Contoh lain, pada Maret hingga April 2010, tiga pembangkit listrik tenaga air di daerah aliran sungai Citarum, Jawa Barat mengalami kelebihan air di waduk mereka sehingga akhirnya menyebabkan kejadian banjir di daerah hilir.
2. Kenaikan suhu air laut dan cuaca panas
Naiknya suhu air laut dan cuaca panas juga dapat mengganggu aktivitas pembangkit listrik.
Untuk pembangkit listrik batu bara dan gas, kenaikan suhu air laut mempengaruhi sistem pendinginan.
Sistem ini akan mengalirkan air laut melalui pipa untuk menyerap panas dari uap dan mengeluarkan air laut yang menghangat kembali ke laut. Suhu air laut yang naik akibat pemanasan global dapat menurunkan efisiensi energi dari pembangkit listrik.
Suhu air laut yang tinggi juga meningkatkan populasi ubur-ubur. Pada bulan April 2016, ubur-ubur menyerbu masuk ke sistem pendingin pembangkit listrik di Paiton, Jawa Timur sehingga tidak beroperasi selama 20 hari. ‘Serangan’ tersebut merugikan PLN hingga $21.7 juta (sekitar Rp368 miliar).
BMKG menjelaskan, temperatur air laut yang sangat dingin di laut Australia memicu serangan ubur-ubur tersebut. Perubahan cuaca yang ekstrim tersebut memaksa mereka bermigrasi ke Laut Jawa yang lebih hangat.
Sementara itu, cuaca panas merupakan masalah bagi pembangkit listrik tenaga gas alam. Mereka membutuhkan udara dalam proses pembakaran gas alam untuk menghasilkan listrik. Temperatur udara yang semakin naik akan menurunkan efisiensi pembangkit listrik bertenaga gas, dan kemudian mengurangi jumlah listrik yang mereka hasilkan.
3. Kekeringan dan petir
Kekeringan yang panjang juga mempengaruhi aktivitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Kekeringan yang terjadi di tahun 2011 menurunkan produksi listrik yang dihasilkan PLTA Saguling dan PLTA Cirata, keduanya berlokasi di Jawa Barat, dan diperkirakan kerugian finansial mencapai nilai $51.5 juta (sekitar Rp703 milliar).
Lebih lanjut, sistem transmisi pembangkit listrik sangat rentan terhadap sambaran petir.
Sambaran petir dapat merusak perangkat transmisi tenaga listrik dan berujung pada kegagalan penyaluran tenaga listrik.
Pada tahun 2011-2017, PLN mencatat terdapat 107 insiden sambaran petir yang menyebabkan pemadaman di jaringan transmisi Jawa-Bali.
Cuaca ekstrim karena krisis iklim akhirnya mempengaruhi konsumen
Banjir pada tahun 2014 dan 2015 mengharuskan PLN untuk menghentikan sementara distribusi listrik demi alasan keamanan. Kejadian itu merugikan 89.000 konsumen yang listriknya harus padam rata-rata 16 jam pada tahun 2014 dan 1,7 jam pada tahun 2015.
Banjir pada awal Januari 2020 juga membuat PLN melakukan hal yang sama dan mematikan hampir 2,500 gardu listrik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Gangguan listrik semacam ini sangat menganggu dan bisa menyebabkan kerugian finansial bagi konsumen dan peralatan listrik.
Bagi skala rumah tangga, pemadamanan listrik membuat masyarakat tidak bisa menggunakan pendingin ruangan, terutama di kota-kota yang suhunya lebih tinggi. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan.
Pemadaman listrik juga mempengaruhi berbagai bentuk pekerjaan rumah tangga, proses belajar anak-anak, dan aktivitas sosial lain (seperti transportasi, kegiatan di rumah sakit, dan pengantaran makanan).
Bagi PLN, peristiwa pemadaman akibat keadaan cuaca membuat perusahaan rugi karena adanya penurunan penjualan listrik dan kerusakan infrastruktur. Namun, masih belum ada estimasi kerugian PLN atas kerusakan infrastruktur.
Dalam beberapa kasus, PLN harus menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel, yang lebih mahal dibanding pembangkit tenaga batu bara atau gas alam, untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terganggu oleh cuaca ekstrem.
Kita butuh infratrstruktur yang tahan terhadap iklim
Di tengah ancaman pemadaman listrik akibat cuaca, analisis kerentanan sektor ketenagalistrikan Indonesia terhadap krisis iklim masih sangat kurang.
Sektor ketenagalistrikan memiliki ambisi besar untuk memenuhi target 99% kebutuhan dan akses masyarakat akan listrik dan berkontribusi terhadap target penurunan 29% emisi CO2 pada tahun 2030.
Untuk mencapai target-target tersebut, kita perlu meningkatkan sistem ketahanan sektor listrik terhadap peristiwa krisis iklim.
Caranya, pemerintah perlu menyadari kerentanan infrastruktur listrik nasional terhadap ancaman krisis iklim.
Pemerintah juga perlu memiliki strategi untuk mengurangi emisi karbon dan dalam waktu yang bersamaan memastikan sektor listrik yang tahan terhadap krisis iklim.
Strategi tersebut perlu dimasukkan ke dalam National Action Plan for Climate Change Adaptation (Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim) Indonesia, yang sudah dipublikasikan pada tahun 2012.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan, seperti PLN dan produsen listrik independen (IPP), terkait konsekuensi perubahan iklim terhadap keberlanjutan operasi mereka.
Pertimbangan risiko krisis iklim harus menjadi prioritas perusahaan listrik dan masuk dalam strategi bisnis dan pembangunan kapasitas listrik jangka panjang mereka.
Artikel ini telah tayang di theconversation.com dengan judul “Cuaca ekstrem akibat krisis iklim ganggu pembangkit listrik di Indonesia dan rugikan konsumen”, https://theconversation.com/cuaca-ekstrem-akibat-krisis-iklim-ganggu-pembangkit-listrik-di-indonesia-dan-rugikan-konsumen-130311
Penulis : Kamia Handayani
Foto Cover : Pembangkit listrik di Indonesia sangat rentan terhadap cuaca ekstrim, misalnya banjir dan kekeringan.