Jakarta, 15 Januari 2019
Tim Jakarta Berketahanan menghadiri diskusi panel yang diselenggarakan oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA) dengan mengusung tema “Localization and Preparedness in Indonesia and The Asean Region: A knowledge session for humanitarian stakeholders” yang dihadiri oleh Badan Perencanaan dan Penataan Nasional (BAPPENAS), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK), United Nations Department of Safety and Security (UNDSS), Christian Blind Mission (CBM) International, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), RedR Indonesia, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), dan lembaga-lembaga lainnya yang memiliki fokus utama terhadap Disaster Management.
Forum ini bertujuan untuk membahas perkembangan, masukan, saran dan hal-hal baru yang berkaitan dengan upaya dan praktik kesiapsiagaan bencana di Indonesia terutama pada beberapa daerah terdampak bencana gempa dan tsunami yaitu Palu, Donggala, Lombok, Banten dan Lampung.
Pada sesi pertama, BMKG menjelaskan tentang kondisi cuaca dan iklim yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; (1) La Nina dan El Nino, (2) Dipole Mode, (3) Gelombang Angin Dingin, (4) Madden–Julian Oscillation (MJO), (5) Siklus Siklon Tropis, dan (6) Local Convective, dimana faktor-faktor tersebut menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami cuaca yang tidak menentu khususnya DKI Jakarta. Dalam pemaparan tersebut, BMKG mengatakan bahwa prakiraan kondisi puncak musim hujan di Jakarta akan terjadi pada akhir Januari dan pada bulan Maret untuk ditindaklanjuti dalam upaya preventif kebencanaan banjir di DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama BPBD telah melakukan persiapan dan penanggulangan bersama terkait masalah tersebut yaitu mengeluarkan peraturan Instruksi Gubernur Nomor 133 tahun 2018 tentang Kesiapsiagaan dan Antisipasi Ancaman Bencana Banjir, Tanah Longsor dan Angin Kencang pada Musim Hujan. Dalam peraturan tersebut, Gubernur Provinsi DKI Jakarta memandatkan kepada 23 institusi terkait antisipasi bencana ketika musim hujan. Selain itu, BPBD DKI Jakarta telah melakukan berbagai program dan kegiatan seperti Kampung Siaga Bencana yang terdiri dari 81 kampung di DKI Jakarta serta melakukan pelatihan penanganan bencana sejak dini (Safe School). Dengan adanya program tersebut diharapkan dapat menjadi upaya untuk langkah preventif oleh masyarakat dalam kesiapan bencana.
Pemaparan lainnya disampaikan oleh Bapak Nelwan Harahap dari Kemenko PMK mengenai kondisi terkini proses rehabilitasi dan rekonsiliasi di tiga daerah pasca bencana, yaitu daerah terdampak gempa dan tsunami di Palu, daerah terdampak gempa di Lombok, serta tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau di sekitar daerah pesisir Selat Sunda (Banten & Lampung). Beliau mengungkapkan kendala relokasi pengungsi terdampak bencana di daerah-daerah tersebut salah satunya adalah pada penyediaan sarana dan prasarana utilitas hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap). Poin penting lainnya yaitu kontribusi besar para NGO dan rekan-rekan private sector dalam menyediakan huntara dan huntap yang patut diapresiasi. Namun karena kurangnya koordinasi antar pihak, ditemui fakta bahwa terdapat beberapa hunian yang dibangun di lokasi yang tidak tepat dan juga dengan fasilitas yang kurang layak. Dari pemaparan tersebut, pelajaran penting yang bisa kita petik dalam langkah-langkah penguatan ketahanan kota Jakarta yang rawan akan bencana adalah : (i) pentingnya perhatian terhadap penyediaan utilitas yang ramah lingkungan serta memenuhi standar sanitasi dalam pembangunan atau relokasi permukiman dan (ii) upaya revitalisasi situs rawan bencana harus disesuaikan dengan peta bencana yang dijelaskan secara detail oleh dokumen tata ruang sehingga tidak ada pemukiman atau daerah komersial/industri yang dibangun di daerah rawan bencana.
Setelah itu, pemaparan selanjutnya disampaikan oleh CBM International mengenai inklusifitas dan aksesibilitas untuk penyandang kebutuhan khusus terhadap kesiapan bencana. Sebagian besar gedung dan fasilitas yang ada di Indonesia masih belum dilengkapi oleh jalur evakuasi untuk para disabilitas sehingga menyulitkan mereka untuk melakukan mobilitas terutama ketika terjadi bencana. Hal tersebut perlu menjadi perhatian oleh para pemangku kepentingan terkait kesiapan menghadapi bencana terhadap penyandang kebutuhan khusus.
Pada sesi kedua, dapat dipetik beberapa poin penting mengenai praktik lokalisasi tanggap bencana di Indonesia yang dipaparkan oleh beberapa praktisi dari berbagai organisasi yang berbeda. Pertama, pemaparan dari Bapak Dr. Suprayoga selaku Perencana Ahli Utama dari Bappenas berupa praktik lokalisasi penanganan dan mitigasi kebencanaan seringkali menemui kendala pada tahap implementasi karena best practice yang diambil dari contoh kasus kota atau negara lain ketika diterapkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Lebih jauh lagi, banyak pemerintah daerah yang belum siap menjadi aktor utama penanganan dan mitigasi bencana mengingat lemahnya kapasitas institusi yang mereka miliki. Hal tersebut menyebabkan pemerintah daerah memiliki respon yang rendah terhadap bencana. Permasalahan lain adalah pembiayaan mitigasi bencana yang seringkali tidaklah murah. Bu Rahmawati Husein dari MDMC menanggapi hal ini dengan memberikan data alokasi anggaran untuk urusan kebencanaan di kebanyakan pemda di Indonesia. Rata-rata pemda hanya mengalokasikan kurang lebih 1% dari APBD yang tentunya jauh dari cukup untuk negara yang sangat rentan pada bencana. Diskusi tersebut menjadi lebih menarik saat municipal bond diangkat sebagai salah satu solusi namun pengelolaan hutang ini mensyaratkan kapasitas pemda yang mumpuni dalam mengelola uang tersebut dan tentunya menyusun rencana pengembalian hutang tersebut sehingga tidak menjadi beban bagi daerah dalam jangka waktu panjang. Kedua, pengalaman dari MDMC, RedR, dan MPBI kami amati belum melakukan intervensi pada penyediaan dan pengawasan utilitas seperti prasarana air minum dan pengelolaan air limbah yang sebenarnya sangat penting dalam proses revitalisasi pemukiman pasca-bencana.
Berikut merupakan tautan menuju unggahan materi/paparan yang disampaikan selama diskusi: