Jakarta, CNN Indonesia — Pengamat menilai penggunaan B30 bisa jadi tidak lebih ramah lingkungan dari penggunaan bahan bakar fosil. Sebab, meski bahan bakar biodiesel memiliki emisi yang lebih rendah dari bahan bakar fosil.
Namun, jejak karbon dari proses produksi bahan bakar ini bisa jadi lebih tinggi. Hal ini diungkap Arkian Suryadarma, Senior Forest Campaigner Greenpeace.
“Potensial lebih tinggi karena pembukaan lahan, transportasi dan juga limbahnya,” tuturnya, saat dihubungi via pesan teks, pekan lalu (13/6).
“Dari hasil riset kementerian ESDM, B20 di tahun 2017 mengurangi emisi gas rumah kaca […] tetapi ini memang hanya dari sisi emisinya ya […] kalau dilihat secara keseluruhan (carbon footprint) mungkin biodiesel lebih tinggi.”
Penambahan jejak karbon ini menurutnya berasal dari pembukaan lahan untuk kebun sawit yang tak jarang mengonversi hutan heterogen menjadi kebun yang homogen.
“Ini juga kita harus liat dari kualitas tanahnya, karena menanam tanaman secara monokultur (homogen) berarti mineral mineral yang di ambil oleh tanaman itu yang sama jadi kualitas tanah juga akan kena dampaknya,” lanjutnya.
Ia pun menambahkan ada jejak karbon juga tambahan dari transportasi yang dibutuhkan untuk mengantar hasil produksi yang menurut Arkian memerlukan empat tahapan berbeda serta limbah yang dihasilkan.
Arkian pun lantas merujuk pada data laporan Koaksi Indonesia. Laporan itu mengutip penelitian yang dilakukan Kimberly Carlson soal efek emisi pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sepanjang 1990-2010.
Ternyata pembukaan lahan ini menghasilkan emisi yang cukup besar. Emisi karbon yang dikeluarkan untuk konversi lahan selama 10 tahun mencapai 1,5 gigaton CO2 atau rata-rata mencapai 0,15 gigaton pertahun. Angka ini setara dengan 32 juta mobil selama setahun. Sementara menurut data ESDM, B20 hanya mengurangi emisi dari 13.392 bus kecil setahun atau sejumlah 3,84 juta ton CO2 pada 2017.
Bahkan, angka jejak karbon yang dihasilkan dari konversi lahan itu akan makin tinggi jika pembukaan lahan untuk perkebunan sawit menggunakan metode pembakaran. Maka emisi yang digunakan naik 24 persen.
“Kondisi ini memposisikan kebijakan biodiesel berada pada sebuah paradoks, penurunan emisi pada satu sisi sedangkan secara bersamaan juga menambah emisi,” seperti tertulis dalam laporan Koaksi Indonesia, Dinamika Hulu Hilir Industri Biodiesel Indonesia yang keluar November 2018 lalu.
“Pengurangan emisi ini terjadi karena bahan bakar biodiesel punya angka centane dan kandungan oksigen lebih tinggi sehingga mendorong terjadinya pembakaran yang lebih baik. Selain itu, kendaraan berbahan bakar B20 dapat menghasilkan emisi Total Hydrocarbon (THC) yang lebih rendah dibanding bahan bakar diesel“.
(eks/eks)