JAKARTA, KOMPAS — Penataan kawasan Sungai Ciliwung di Jakarta guna menekan risiko banjir mesti mendahulukan pemenuhan kebutuhan sungai dibandingkan kebutuhan tempat tinggal di area itu. Kebutuhan sungai antara lain untuk berfungsi secara baik mengalirkan air dari hulu di Puncak, Kabupaten Bogor, sampai ke utara Jakarta.
”Memulai program dari sungainya, baru ke urbannya, adalah kunci solusi,” ucap Dekan Departemen Arsitektur Swiss Federal Institute of Technology (ETH) Zurich Prof Christophe Girot, di sela diskusi ”Beyond Resilience: Towards a More Integrated and Inclusive Urban Design”, Rabu (26/6/2019), di kampus Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat.
Memulai program dari sungainya, baru ke urbannya, adalah kunci solusi.
Acara diselenggarakan International Forum on Urbanism (IFoU) bekerja sama dengan Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanegara.
Girot pernah bekerja di Future Cities Laboratory untuk menangani proyek penelitian penataan Sungai Ciliwung tahun 2010-2015. Ia menyimpulkan, prioritas dalam penataan Sungai Ciliwung dan daerah tangkapan airnya adalah mengembalikan marwah area Ciliwung sebagai ruang publik dan koridor alami.
Dengan cara ini, pemerintah, pemerintah, daerah, dan masyarakat tidak hanya akan menekan risiko banjir, tetapi juga memungkinkan Ciliwung menjadi sumber air bersih bagi Jakarta dan menambah ruang publik yang kini berjumlah minim di Ibu Kota.
Panjang Sungai Ciliwung 119 kilometer. Sebanyak lebih kurang 5 juta jiwa tinggal di dalam daerah tangkapan air Ciliwung yang seluas 384 kilometer persegi.
Isu yang menjadi ganjalan saat ini adalah permukiman di bantaran sungai yang seharusnya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau. Bahkan, lanjut Girot, ada rumah-rumah yang berdiri di dalam badan sungai sehingga banjir merupakan keniscayaan di rumah-rumah itu.
Proyek normalisasi sungai, meski dikritik karena mengandalkan pembetonan dinding tepi sungai, menurut Girot, menunjukkan penataan permukiman bisa dilakukan. Hal yang menjadi pekerjaan rumah adalah merumuskan penataan sesuai aspirasi warga bantaran Ciliwung.
Mengingat lahan bantaran sungai mesti dialokasikan sebagai ruang terbuka hijau, lahan untuk permukiman hasil penataan kemungkinan bakal lebih sempit. Desain yang cocok antara lain bangunan bertingkat.
”Di Bukit Duri (Jakarta Selatan), Pak Sandy (Sandyawan Sumardi) mendampingi warga merancang kampung susun,” ujarnya.
Dari survei selama penelitian, lanjut Girot, warga di Bukit Duri, Kampung Melayu, dan wilayah-wilayah sekelilingnya menyatakan ingin lingkungan sekitar Ciliwung lebih baik. Dengan demikian, masyarakat perlu didorong untuk sadar bahwa kesehatan Ciliwung merupakan tanggung jawab bersama, termasuk mereka yang tinggal di bantarannya.
Pada sisi lain, Girot mendorong adanya keputusan politik tidak hanya dari kepala daerah, tetapi juga dari presiden untuk membenahi Ciliwung. Ini lantaran Ciliwung melewati antara lain Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Jakarta.
”Kami pernah bekerja di Bogor, Depok, dan di sini (Jakarta). Kesepakatan di antara pemerintah daerah sulit tercapai. Keputusan presiden adalah satu-satunya solusi,” kata Girot.
Kami pernah bekerja di Bogor, Depok, dan di sini (Jakarta). Kesepakatan di antara pemerintah daerah sulit tercapai. Keputusan presiden adalah satu-satunya solusi.
Peneliti dan salah satu pendiri School of Democratic Economics (SDE), Hendro Sangkoyo, menambahkan, selama ini aksi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian daerah aliran sungai Ciliwung terkesan tidak sungguh-sungguh.
”Pembongkaran vila di Puncak, misalnya, sudah ada sejak Pak Emil Salim jadi Menteri (Lingkungan Hidup), tetapi kan hanya beberapa yang dirobohkan, dan tidak ada artinya untuk krisis di seluruh daerah tangkapan air Ciliwung,” kata Hendro.
Pembongkaran vila di Puncak, misalnya, sudah ada sejak Pak Emil Salim jadi Menteri (Lingkungan Hidup), tetapi kan hanya beberapa yang dirobohkan, dan tidak ada artinya untuk krisis di seluruh daerah tangkapan air Ciliwung.
Namun, terkait upaya penataan Ciliwung, Hendro menekankan, pemerintah dan pemerintah daerah tidak boleh meninggalkan sistem pengetahuan asli dari masyarakat lokal, tidak sekadar mengandalkan pengetahuan dan teknologi dari luar.