BeritaJakarta BerketahananKliping

Merawat Sungai untuk Peradaban Kota

Aliran sungai menjadi pusat peradaban tua bagi banyak kota-kota di dunia termasuk Jakarta. Catatan sejarah menyebutkan peradaban di aliran sungai Ciliwung Jakarta sudah dimulai sejak lima ribu tahun silam. Banyak bukti situs prasejarah ditemukan di sepanjang aliran sungai ini mulai dari peralatan seperti kapak dan tembikar hingga situs pemakaman.

Denyut kehidupan tepi sungai terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Belanda, Batavia berkembang sebagai pusat perdagangan. Aktivitas distribusi barang dan transportasi pelayaran masa itu bergantung pada sungai/kanal yang mengelilingi kota.

Cerita sungai yang mengiringi kehidupan warga nyaris mungkin tidak berjejak jika melihat kondisi sungai di Jakarta saat ini. Sebanyak 13 aliran sungai yang mengalir di tiap sisi Ibu Kota, tak bisa lagi dilayari karena sedimentasi. Air sungai yang dulu pernah menjadi sumber air bersih kota, kini tak bisa lagi digunakan karena tercemar.

Kondisi sungai Jakarta tersebut diamini oleh lebih dari 58 persen jajak pendapat Kompas awal Mei lalu. Aliran sungai yang menjadi tempat bermulanya peradaban kota kini justru berubah menjadi ruang dari beragam persoalan kota. Diantaranya, pencemaran limbah, okupasi liar daerah tepi sungai, hingga persoalan sedimentasi (endapan berlebih) dan banjir.

Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) menyatakan sedimentasi yang terjadi di sungai Ciliwung semakin berat. Kerusakan lingkungan di daerah hulu dan masifnya pencemaran limbah kian memperparah endapan lumpur di dalam sungai.

Sedimentasi ini berdampak pada berkurangnya daya tampung dan kualitas air sungai. Daya dukung sungai yang terus berkurang membuat volume air hujan yang menggelontor dari hulu ataupun hilir terus meningkat dan tidak tertampung. Inilah yang mengakibatkan potensi banjir semakin besar.

Upaya penanggulangan
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan banjir. Mulai dari pengerukan sedimentasi sungai, pemasangan sheet pile di dinding sungai, penertiban bangunan liar di sempadan, hingga pemasangan pompa dan saringan sampah.

Normalisasi sungai menjadi salah satu penanganan banjir yang dilakukan di sejumlah sungai, seperti, Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Upaya penanggulangan banjir dengan memperbesar kapasitas sungai tersebut dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan BBWSCC mulai 2013.

Bentuk normalisasi sungai yang telah dilakukan adalah mengeruk sedimentasi dan melebarkan badan sungai, selanjutnya dinding sungai diperkeras dengan beton. Bangunan liar di sempadan sungai ditertibkan. Warga yang bermukim di sempadan, dipindahkan ke rumah susun.

Selanjutnya upaya normalisasi berhenti sejak 2017. Sebagai gantinya, Pemprov DKI akan melakukan naturalisasi sungai yang tertulis dalam Pergub No. 31 tahun 2019. Konsep tersebut akan mengelola sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memerhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir serta konservasi.

Namun berbagai upaya tersebut dinilai belum efektif oleh 56 persen responden. Penilaian tersebut terkait dengan kondisi sungai Jakarta sekarang yang kembali dipenuhi sedimentasi. Bahkan beberapa diantaranya tertutup oleh tumpukan sampah rumah tangga.

Banjir berkurang
Di sisi lain, sekitar empat dari 10 warga mengapresiasi positif upaya pemeliharaan sungai oleh pemerintah. Normalisasi pada beberapa sungai mengubah wajah sungai Jakarta menjadi lebih tertata dan terlihat bentuk meander (kelokan sungai yang menyerupai kantong).

Selain itu, sedikit banyak normalisasi sungai juga bisa mereduksi dampak banjir ibukota. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menunjukkan signifikansi penurunan daerah terdampak banjir tahun 2015-2018. Tahun 2015, sekitar 702 titik daerah di 139 kelurahan dan 39 kecamatan terdampak banjir. Jumlah tersebut terus menurun hingga tahun lalu hanya 63 kelurahan dan 30 kecamatan yang terdampak banjir.

Kemudian banjir kembali terjadi di penghujung April 2019. Air meluap di Sungai Ciliwung, Krukut dan Angke. Catatan BPBD DKI Jakarta, ada 43 titik banjir yang tersebar di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat. Banjir kali ini juga menyebabkan dua orang meninggal dan lebih dari 2.300 jiwa mengungsi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta berupaya menyingkirkan sampah yang menyumbat Pintu Air Manggarai Jakarta, Jumat (5/4/2019). Saat debit air di sungai Ciliwung meningkat akibat hujan yang mengguyur kawasan Bogor dan sekitarnya, bisa dipastikan terjadi penumpukkan sampah di Pintu Air Manggarai. Sampah-sampah dari hulu Ciliwung itu mengalir sekitar 9-12 jam hingga tiba di pintu air Manggarai. Sebagian besar sampah yang menumpuk berupa kayu dan bambu, dan juga sampah plastik.

Penurunan titik genangan banjir diamini separuh lebih responden (56,6 persen) yang menyatakan banjir tak lagi terjadi di sekitar tempat tinggal mereka setahun terakhir. Kalau pun banjir, air surut cukup cepat, menurut sepertiga responden.

Hanya sekitar 11 persen yang mengaku pernah mengalami banjir dengan waktu surut lebih dari sehari. Sungai sebagai salah satu urat nadi peradaban kota tetap harus dijaga, meski tak bisa lagi berfungsi sebagai sarana transportasi dan sumber air minum.

Berita ini termuat dalam sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/06/30/merawat-sungai-untuk-peradaban-kota/

Show More

Related Articles

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com