Selagi masih gratis, oksigen perlu dirawat kebersihannya. Polusi udara yang kian parah membuat Jakarta berpotensi kehilangan oksigen cuma-cuma dari alam. Manusia yang seharusnya menghirup udara bersih, kini disodori polusi yang dihasilkannya sendiri.
Sungai di masa lampau jadi sumber air minum gratis penduduk sekitar. Kini, air menjadi komoditas yang dijual karena pencemaran makin parah di sumber-sumber air, termasuk sungai. Udara yang sekarang jadi sumber oksigen tak berbayar pun bukan tidak mungkin bernasib serupa di masa depan akibat polusi.
Dari muka, tampilan kios Citra Medical Gas mirip bengkel. Penyedia oksigen untuk kebutuhan kesehatan itu tersembunyi di antara riuhnya tempat usaha permak mebel, di Jalan Doktor Saharjo, Jakarta Selatan.
Seorang pekerja di kios itu menyusun tabung-tabung oksigen di depan, sedangkan dua pekerja lain sibuk mengisi tabung kosong, memindahkan muatan oksigen dari tabung-tabung besar ke tabung-tabung kecil milik konsumen.
Nana Rukmana (62) dari kursinya mengawasi proses pengisian gas, sesekali memberikan instruksi pad anak buah. “Saya seperti ini sejak 1998, dan kami buka setiap hari, pukul 08.00-21.00,” ucap sang pemilik Citra Medical Gas ini, Selasa (2/7/2019).
Seluruh konsumen Nana merupakan perseorangan, yang butuh oksigen untuk tabung guna ditempatkan di rumah. Itu biasanya karena ada anggota keluarga yang sewaktu-waktu butuh asupan oksigen, terutama yang menderita sakit. Sekitar 60 persen pelanggan Nana membeli oksigen untuk anggota keluarga yang sakit asma, selebihnya karena sakit paru-paru, jantung, atau ginjal.
Ia membuka kios pengisian oksigen ini karena mempertimbangkan banyaknya permintaan. Namun, mempertahankan bisnis oksigen makin berat di masa sekarang. Sekitar 4 tahun lalu, Nana bisa menjual oksigen untuk rata-rata 40 tabung berbagai ukuran setiap harinya. Ukuran tabung yang umum yaitu 0,5 meter kubik, 1 m3, 1,5 m3, 2 m3, dan 6 m3. “Sekarang lima tabung sehari saja sudah bersyukur,” ujarnya.
Nana menjual oksigen seharga Rp 18.000 untuk mengisi tabung ukuran 1 m3, lalu untuk tabung 1,5 m3 Rp 20.000, dan untuk tabung 6 m3 Rp 70.000. Jika ada yang butuh tabung, ia menjual sekitar Rp 700.000 per tabung ukuran 1 m3, tetapi rata-rata dalam satu bulan hanya satu tabung yang dijual.
Meski pendapatan menurun, itu menurut Nana justru bukan pertanda merosotnya jumlah permintaan terhadap oksigen. “Permintaan banyak, tapi pesaing juga makin banyak,” kata dia menyebutkan alasannya.
Pesaing yang dimaksud adalah para penjual tabung dan penyedia jasa pengisian oksigen yang menawarkan produk secara daring. Kemunculan tempat belanja maya juga semakin menekan pendapatan Nana.
Cobalah membuka salah satu tempat belanja daring dan ketikkan kata kunci “oksigen”. Beragam perlengkapan untuk mengonsumsi oksigen berbayar ditawarkan berbagai mitra usaha. Selain ada yang menjual tabung oksigen, ada pula yang menyediakan bagian-bagian alat secara terpisah jika dibutuhkan, misal regulator, selang, dan troli tabung oksigen.
Pencemaran udara Jakarta yang sedang jadi tren percakapan saat ini berpeluang berkontribusi menambah pasar bagi para penyedia oksigen berbayar tersebut. Kita tentu tidak berharap banyak penduduk Ibu Kota yang sakit, tetapi inilah kerentanan nyata yang sedang berlangsung akibat parahnya polusi.
Hasil kajian Badan PBB untuk Urusan Lingkungan (UN Environment) pada 2016, insiden tahunan (annual incidence) penyakit yang terkait polusi udara di DKI Jakarta yaitu 1,3 juta serangan asma, 2,7 juta infeksi pernapasan akut, 372.000 pneumonia, 170.000 penyakit paru obstruktif kronik, dan 1,4 juta penyakit jantung arteri.
Ririn Radiawati Kusuma, Manajer Program Perbaikan Kualitas Udara di Jakarta pada lembaga Vital Strategies, menambahkan, angka kejadian itu lantas ditransfer ke dalam bentuk rupiah, dengan melihat besar ongkos untuk penanganan penyakit-penyakit tadi.
Hasilnya, dengan lebih dari 6,1 juta penyakit kardio-pernapasan di DKI pada 2016 (ekuivalen dengan 12 episode per menit), biaya kesehatan yang sudah dikeluarkan sebesar Rp 51,2 triliun. Itu menempatkan polusi udara sebagai satu dari sepuluh faktor risiko kesehatan tertinggi di Jakarta. “Jadi, bisa dibayangkan berapa besar biaya yang dikeluarkan individu, BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan), dan asuransi lainnya,” ucap Ririn.
Bayangkan pula, jika tidak ada langkah efektif menangani polusi, dan udara di Jakarta suatu saat nanti terlampau beracun untuk dihirup. Pangsa pasar bisnis oksigen berbayar Nana, kios oksigen lain, serta penyedia alat oksigen daring bakal meluas menjadi seluruh penduduk Jakarta!
Koordinator Kemitraan Hijau Nirwono Joga menuturkan, manusia dewasa menghirup oksigen sebanyak 2.880 liter per hari dan nitrogen 11.376 liter per hari. Jika harga oksigen Rp 25.000 per liter dan nitrogen Rp 9.950 per liter, maka setiap orang harus mengeluarkan biaya Rp 185,1 juta per hari untuk bernapas. Total biaya sebulan: Rp 5,55 miliar per orang.
Jika tidak ada terobosan yang berarti, dan jika Pemerintah Provinsi DKI terus kukuh bahwa pencemaran udara masih tahap sedang-sedang saja, penduduk Jakarta saat ini sejatinya hanya menunggu oksigen gratis habis.
Berita ini termuat dalam sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/07/03/menunggu-oksigen-gratis-habis/