BeritaJakarta BerketahananKliping

Ironi ”Nyampah” di Kali yang Terus Lestari

Berbagai program pengelolaan dan pelestarian sungai seperti tidak berhenti digaungkan selama bertahun-tahun. Namun, di luar fisik sungai di Ibu Kota dan sekitarnya yang mulai berubah karena tersentuh proyek penataan oleh pemerintah ataupun swasta, budaya buang sampah di kali tetap berlangsung.

Empat perahu karet menyusuri Sungai Ciliwung di Kota Depok, Sabtu (3/8/2019). Perahu-perahu beriringan berangkat pukul 09.12 dari bawah Jembatan Biru, Kampung Utan, Pondok Rajek, yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Penelusuran Ciliwung kali ini adalah bagian dari program pengabdian masyarakat Universitas Indonesia (UI), yaitu River Adoption 2019.

Komara Djaja dari UI mengatakan, bekerja sama dengan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) dan Komunitas Ciliwung Depok (KCD), kegiatan Sabtu itu bertujuan mengoleksi dan memperbarui data spasial terkait sampah dan keanekaragaman hayati di Ciliwung. Koleksi data kali ini khususnya menyasar di trayek Ciliwung Depok dari Kampung Utan hingga di bawah Jembatan Grand Depok City (GDC) sejauh sekitar tujuh kilometer.

Sejak di titik awal hingga akhir perjalanan selama lebih kurang empat jam berperahu, sebanyak 17 peserta kegiatan langsung disuguhi sampah yang berserak di tepian sungai atau menumpuk membusuk di beberapa titik di kanan-kiri bantaran. Kantong plastik, popok bayi bekas pakai, pembalut wanita, bungkus makanan instan, bungkus rokok, berbagai macam kain, bangkai, limbah pabrik tahu, limbah rumah tangga, pohon tumbang, rumpun bambu longsor, dan begitu banyak ragam sampah lain dijumpai di sana.

Sejak di titik awal hingga akhir perjalanan selama lebih kurang empat jam berperahu, sebanyak 17 peserta kegiatan langsung disuguhi sampah yang berserak di tepian sungai atau menumpuk membusuk di beberapa titik di kanan-kiri bantaran.

KOMPAS/NELI TRIANA

Taufiq dari Komunitas Ciliwung Depok saat di atas perahu dan bertemu anak-anak warga setempat yang bermain di Ciliwung yang tengah surut pada musim kemarau, Sabtu (3/8/2019).

Sampah-sampah itu sungguh merusak pemandangan Ciliwung yang masih begitu hijau dan lebar di aliran Kampung Utan-GDC. ”Di sini memang masih lebar dan tutupan hijaunya cukup rapat. Meskipun perumahan dan pabrik masih banyak yang dibangun mendekat bibir sungai. Kami juga masih mengadvokasi perumahan yang membangun dengan menimbun dan terlalu dekat dengan bantaran,” kata Taufiq dari KCD.

Sepanjang perjalanan, peserta mengarungi Ciliwung yang dangkal menyusut karena kemarau. Air rata-rata setinggi 10-50 sentimeter, kecuali di beberapa titik yang biasa disebut palung atau kedung. Di palung atau kedung, seperti di Kedung Batu Putih dan Kedung Asem, kedalaman bisa lebih dari 2 meter.

Air Ciliwung terlihat bening kehijauan, sedap dipandang mata. Terhampar selebar 15-20 meter, ada delta sungai yang menyerupai pulau di tengah kali, hamparan batu besar juga kerikil muncul di sana-sini karena air mengering. Di kanan kiri, tutupan rumpun bambu, pohon matoa, tunjung langit, sukun, palem-paleman, dan lainnya rapat membungkus bantaran. Tajuk bambu sering kali melengkung hingga ke tengah sungai. Sejuk.

KOMPAS/NELI TRIANA

Aliran Ciliwung di Depok yang masih lebar dan hijau.

Banyak dijumpai anak-anak berkelompok bermain di bantaran, berendam dan berenang di kali. Ada juga sekelompok ibu-ibu bersama anak-anak mereka duduk di atas hamparan kerikil sembari bersantap siang. Pehobi mancing bertebaran di bawah jembatan, tajuk pohon, di tengah alang-alang sembari duduk santai menunggu ikan memakan umpan. Rata-rata pemancing ataupun penjala yang ditemui mendapatkan ikan ampala, semacam ikan tawes.

”Tapi, ini tidak banyak dapat ikan. Lebih banyak sampahnya,” kata Yunus, salah satu penjala ikan. Yunus menjala bersama seorang teman dan seorang anak kecil. Saat jala ditarik dan tidak mendapatkan satu ikan pun, kadang mereka terjun berenang dan menyelam, berharap dapat menggiring ikan ke lokasi yang tepat agar mudah ditangkap.

”Tapi, ini tidak banyak dapat ikan. Lebih banyak sampahnya,” kata Yunus, salah satu penjala ikan.

KOMPAS/NELI TRIANA

Yunus, penjala ikan di Ciliwung Depok, saat ditemui Sabtu (3/8/2019)

Ya, sampah memang mendominasi Ciliwung. Taufiq mengatakan kondisi ini tidak banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. ”Budaya nyampah ini tidak tersentuh program pengelolaan sungai. Alasan nyampah di kali juga macam-macam, mulai memang malas buang di tempatnya hingga fasilitas pengolahan sampah jauh atau tidak ada, juga di kita masih kental budaya buang sial atau melarung banyak hal di sungai,” kata Taufiq.

Taufiq mengisahkan, KCD kini berupaya memfasilitasi orang yang akan mengubur ari-ari agar tidak perlu melarungnya di Ciliwung atau di kali mana pun. Di dekat salah satu pusat kegiatan KCD di bawah Jembatan GDC, ada lahan yang bisa digunakan warga setempat mengubur ari-ari. KCD juga pernah menegur aparat keamanan yang membuang seluruh pakaiannya untuk buang sial setelah menembak mati tersangka buruannya saat dalam pelarian.

Sungai sebagai tempat membuang kotoran agar diri sendiri kembali bersih, menurut Taufik, menjadi kepercayaan warga secara turun-temurun. Masalahnya, jika dulu jumlah penduduk jauh lebih sedikit dan sampah yang dibuang sebagian besar masih sampah organik yang bisa diurai segera oleh alam, saat ini kondisinya berbeda.

Bagaimana bisa mengubah budaya yang telah tertanam lama itu, memang bukan pekerjaan mudah. Saat ini, program-program resmi pemerintah lebih banyak menyentuh program fisik seperti menormalisasi sungai, menyediakan tempat sampah, menanam pohon di bantaran, tetapi kurang fokus menggalakkan budaya nyampah yang benar sesuai dengan tuntutan zaman.

Saat ini, program-program resmi pemerintah lebih banyak menyentuh program fisik, seperti menormalisasi sungai, menyediakan tempat sampah, menanam pohon di bantaran, tetapi kurang fokus menggalakkan budaya nyampah yang benar sesuai dengan tuntutan zaman.

Perjalanan mengarungi Ciliwung kemarin pun belum banyak bisa menyumbang solusi atas masalah sampah itu. Namun, bagi para peserta, melihat sendiri kondisi dan hasil budaya nyampah dari tubuh sungai, jelas membuka mata.

KOMPAS/NELI TRIANA

Komara Djaja (kanan, kaus biru) dari Universitas Indonesia saat berbicara dengan anggota Mapala UI di bawah jembatan Grand Depok City yang juga bagian dari pusat kegiatan Komunitas Ciliwung Depok seusai pengarungan di Ciliwung dari arah Citayam, Sabtu (3/8/2019).

”Tugas dari program River Adoption ini salah satunya, saya nanti harus bisa membantu membuat grand design kegiatan di Mapala UI terkait pelestarian sungai. Amat mungkin bisa dimulai dengan penanganan sampah,” kata Komara Djaja.

Saat berbicara dengan anggota Mapala UI yang ikut dalam kegiatan River Adoption, Komara, antara lain, menyinggung bahwa para mahasiswa itu dapat berpartisipasi aktif, misalnya dengan pendekatan langsung kepada komunitas warga tepi sungai. Upaya seperti ini, selangkah demi selangkah asal pasti dan berkelanjutan, amat mungkin mengikis ironi nyampah agar sungai lestari bisa terwujud.

KOMPAS/NELI TRIANA

Saat pengarungan di Ciliwung dan melihat dari dekat okupasi bantaran sungai serta pembuangan limbah pabrik tahu juga limbah domestik langsung ke badan kali, Sabtu (3/8/2019).

Berita ini termuat dalam Sumber : https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/08/05/ironi-nyampah-di-kali-yang-terus-lestari/

Show More

Related Articles

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com