JAKARTA, KOMPAS — Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta berencana menelusuri sumber polusi udara berupa debu halus PM 2.5 yang selama beberapa waktu terakhir telah membuat Jakarta menjadi kota besar dengan kualitas terburuk di dunia menurut versi www.airvisual.com.
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap jenis debu hingga sumber lokasi pencemaran, dari dalam atau dari luar Jakarta. Hal ini karena polusi udara debu halus di kota-kota sekitar Jakarta pun tinggi sehingga bisa berpengaruh memperburuk kualitas udara Ibu Kota.
Kepala Seksi Penanggulangan dan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Agung Pujo Winarko mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah mulai berkoordinasi dengan akademisi untuk melakukan kajian tersebut. Sejumlah bidang yang dikaji di antaranya jenis debu halus berukuran 2,5 mikrogram per meter kubik itu dan persentasenya yang bersumber dari dalam ataupun luar Jakarta.
”Kita akan tahu jenisnya, apakah dari logam berat, kendaraan bermotor, atau dari sektor domestik. Penelitian ini juga akan mengetahui berapa persen dari internal atau luar DKI Jakarta,” katanya dalam diskusi Dewan Riset Daerah DKI Jakarta, Senin (19/8/2019).
Untuk mengatasi polusi udara lintas batas wilayah tersebut, kata Agung, pihaknya telah memasukkan pengendalian kualitas udara dalam Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Sejauh ini, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta belum mempunyai data sejauh mana pengaruh polusi udara dari kota-kota sekitar pada kualitas udara DKI.
Pada Senin pagi hingga sore, DKI Jakarta kembali menduduki peringkat pertama kota besar dengan kualitas terburuk di dunia versi www.airvisual.com. Sepanjang pagi hingga sore, kondisi udara di sejumlah lokasi tempat pengukur berada terpantau tidak sehat. Situs itu merekomendasikan pemakaian masker penutup hidung untuk melindungi diri.
Situs tersebut mengukur polusi udara dari debu halus PM 2.5 melalui satelit dan konfirmasi alat pengukur polusi udara. Kendati mendudukkan Jakarta sebagai kota besar dengan kualitas udara terburuk, kualitas udara dari kota-kota sekeliling DKI Jakarta pun tak lebih baik dan sering kali justru terukur lebih buruk.
Griya Loka BSD, Tangerang Selatan, misalnya, sempat terukur mempunyai PM 2.5 sebesar 186 pada pukul 14.00, sementara Jakarta masih lebih rendah, yaitu 170 di alat pengukur Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan di Pegadungan 161 pada jam yang sama. Kondisi ini jauh di atas ambang batas kualitas udara sehat yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup sebesar 65 mikrogram per meter kubik.
Agung mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup mempunyai alat pengukur dengan standar berbeda dengan www.airvisual.com. Namun, ia mengakui, ada beberapa hari di mana rerata kualitas udara Jakarta di atas ambang sehat yang ditetapkan pemerintah. ”Tapi, masih lebih banyak hari dengan kualitas udara yang termasuk sehat,” katanya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, tahun 2010 ke bawah, sektor transportasi menyumbang sekitar 70 persen ke polusi udara Jakarta. Namun, tahun ini, sumbangan sektor transportas naik menjadi 75 persen. Kenaikan ini setara dengan tren pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta yang mencapai 7-9 persen per tahun.
”Jadi, ini korelasi sangat kuat. Transportasi sumber PM 10 dan PM 2.5, selain sulfur dan karbondioksida. Ini tentu patut jadi perhatian. Jadi, perluasan ganjil genap memang sudah mendesak dilakukan sebagai pembatasan transportasi sebagai sumber polusi udara,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi I Dewan Riset Daerah DKI Jakarta Isroil Samihardjo mengatakan, pemberitaan Jakarta sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia merupakan hasil dari terjadinya ketidakseimbangan informasi. Sebab, situs www.airvisual.com yang kerap menjadi acuan dalam pemberitaan hanya perusahaan penjual alat yang memasang beberapa alat ukur di Indonesia sehingga data yang dihasilkan ia nilai tak representatif.
Situs itu juga cuma mengukur partikulat debu saja, sementara polutan kimia tak dicantumkan. Padahal, kandungan kimia, seperti karbondioksida dan sulfur, justru merupakan emisi dari kendaraan bermotor. ”Orang jadi berpikir bahwa ini emisi yang terukur, padahal cuma debu saja. Informasi asimetris ini sudah tak sehat,” ujarnya.
Terkait itu, Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengatakan, hasil pengukuran polusi udara tak perlu lagi diperdebatkan, tetapi harus dicari solusinya. Sebab, dari hasil sejumlah pengukuran, polusi udara Jakarta sudah buruk sejak 1994. Saat itu, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) sudah meletakkan Indonesia sebagai kota besar dengan kualitas terburuk di nomor tiga di dunia.
Sepanjang 2007-2009, polusi udara sempat turun karena gencarnya uji emisi dan pembatasan umur kendaraan. Namun, kondisi memburuk kembali setelahnya. Selama 2012-2017, rerata tahunan PM 2.5 dan PM 10 sudah tinggi. Demikian juga karbondioksida, sulfur, dan gas ozone (O3). Hanya Nitrogen Dioksida yang masih berada dalam ambang batas sehat. Selama 1-30, polutan debu PM 10 dan PM 2.5 naik dibandingkan periode-periode sebelumnya.
”Kondisi udara Jakarta tahun ini memburuk dari tahun lalu. Rata-rata tahunan konsentrasi PM 2.5 selama 1 Januari-30 Juli 2019 adalah 46,16 mikrogram per meter kubik, sementara tahun 2018 rata-rata 45,62 mikrogram per meter kubik,” kata Ahmad.
Untuk itu, seharusnya pemerintah sudah menerapkan standar bahan bakar minyak (BBM) yang lebih bersih, yaitu Euro 4. pemerintah pusat dan pemerintah Jakarta seharusnya sudah menghentikan penjualan BBM tak ramah lingkungan, seperti Pertalite 90, Pertamax 90, Solar 48 dan Dexlite. Saat ini, teknologi otomotif Indonesia sudah mengadopsi teknologi standar Euro 4 sehingga BBM yang menghasilkan sulfur dan polutan lain yang tinggi itu sebenarnya sudah tak diperlukan lagi.
Berita ini termuat dalam sumber : https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/08/20/undki-akan-telusuri-sumber-polusi-udara/