JAKARTA – Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Edward Nixon Pakpahan, menegaskan pentingnya data pemantauan kualitas udara yang akurat sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah, terutama saat kualitas udara memburuk.
Hal itu disampaikan Edward dalam forum Platform BERSAMA — wadah berbagi praktik dan sinergi pengelolaan data kualitas udara lintas wilayah Jabodetabek — yang digelar di Jakarta, Rabu (15/10).
Menurutnya, kebijakan lingkungan tidak bisa dibuat berdasarkan asumsi semata. Data yang valid menjadi landasan utama untuk menentukan langkah mitigasi yang efektif dan cepat, termasuk pemberian peringatan dini kepada masyarakat.
“Ketika kualitas udara menurun, keputusan harus berbasis bukti, bukan perkiraan. Karena itu, keandalan data menjadi hal yang sangat krusial,” kata Edward.
Ia menjelaskan, untuk menjaga keakuratan data, seluruh perangkat pemantauan harus menjalani pemeliharaan rutin di setiap stasiun. Sementara itu, untuk perangkat Low-Cost Sensor (LCS), diperlukan kalibrasi dan kolokasi serta penggantian sensor secara berkala agar data tetap terjaga mutunya.
KLH juga berencana memperluas cakupan pemantauan, khususnya di daerah dengan tingkat polusi tinggi. Langkah ini akan dilakukan melalui integrasi jaringan pemantauan hybrid yang menggabungkan data dari berbagai sumber — termasuk stasiun referensi milik pemerintah daerah, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sektor swasta, hingga lembaga penelitian. Saat ini, KLH sudah memasang 12 stasiun pemantau di Jabodetabek.
“Dengan sistem terintegrasi ini, pemantauan bisa dilakukan secara real-time dan memberikan gambaran kualitas udara yang lebih komprehensif di tingkat regional,” ujarnya.
Sejalan dengan semangat kolaborasi yang diusung Platform BERSAMA, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menuturkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah lebih dulu mengembangkan sistem pemantauan kualitas udara berbasis data terbuka melalui laman udara.jakarta.go.id.
“Pemantauan kualitas udara secara real-time ini membantu kami menilai tingkat pencemaran, memantau risiko kesehatan, serta mendukung pengambilan kebijakan yang berbasis bukti ilmiah,” kata Asep.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta mengoperasikan 111 stasiun pemantau kualitas udara ambien yang tersebar di berbagai titik di seluruh wilayah ibu kota. Sistem tersebut menampilkan peta sebaran sensor, nilai Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) terbaik dan terburuk, serta rekomendasi aktivitas bagi masyarakat umum maupun kelompok sensitif.
Lebih jauh, Asep menyebut Jakarta tengah menyiapkan Early Warning System (EWS) untuk polusi udara sebagai langkah antisipatif dan responsif terhadap potensi peningkatan pencemaran.
“Melalui sistem peringatan dini ini, warga akan mendapatkan informasi kualitas udara secara real-time hingga tiga hari ke depan, lengkap dengan rekomendasi langkah mitigasi seperti memakai masker atau mengurangi aktivitas di luar ruangan,” pungkasnya.