JAKARTA — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dalam program pengelolaan sampah organik berbasis komunitas. Kolaborasi ini diharapkan menjadi solusi konkret terhadap persoalan sampah yang selama ini membebani Ibu Kota.
Penandatanganan nota kesepahaman ini berlangsung pada Jumat (10/10), sebagai bagian dari upaya membangun ekosistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan partisipatif, dengan melibatkan elemen masyarakat, khususnya komunitas berbasis keagamaan.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut kerja sama ini sebagai bentuk nyata sinergi antara pemerintah dan organisasi masyarakat dalam menjawab tantangan lingkungan, terutama pengelolaan sampah organik yang masih menjadi pekerjaan rumah besar di Jakarta.
“Volume sampah harian di Jakarta saat ini mencapai 7.700 hingga 8.000 ton. Total timbunan di TPST Bantargebang sudah menyentuh angka 55 juta ton. Jika 10 persen saja dari volume tersebut dapat dikelola melalui kolaborasi ini, dampaknya akan sangat signifikan," ujar Pramono dalam sambutannya.
Ia menambahkan, langkah ini selaras dengan kebijakan nasional yang mendorong pemanfaatan teknologi waste-to-energy melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Pemprov DKI, lanjutnya, tengah menyiapkan infrastruktur dan regulasi pendukung agar dapat mengakselerasi pembangunan PLTSa di Jakarta.
“Kolaborasi ini bukan hanya soal mengelola sampah, tapi juga menciptakan manfaat ganda: ketahanan pangan, lapangan kerja hijau, serta harmoni sosial di tengah keberagaman masyarakat Jakarta," kata Pramono.
Sampah Sebagai Potensi Ekonomi
Program pengelolaan sampah ini akan difokuskan pada komunitas keagamaan seperti pesantren, majelis taklim, serta struktur sosial di tingkat RW dan karang taruna. PWNU DKI Jakarta akan menjadi mitra strategis dalam penyebaran edukasi dan praktik pengelolaan sampah organik melalui pendekatan berbasis perilaku dan komunitas.
Koordinator Program NU Mendengar "Gerakan NU Jakarta untuk Kota Berkelanjutan: Bersih, Adil & Harmoni", H. Abdul Azis, menjelaskan bahwa pendekatan ini akan mengubah paradigma masyarakat terhadap sampah. Dari yang semula dianggap sebagai beban, menjadi sumber daya yang memiliki nilai ekonomi.
“Melalui gerakan kolektif di majelis taklim, pesantren, dan komunitas warga, kami ingin menumbuhkan budaya pengelolaan sampah yang produktif. Ini bisa dikembangkan melalui ekonomi sirkular, seperti biokonversi maggot, urban farming, hingga pemberdayaan UMKM berbasis lingkungan," ujar Abdul Azis.
Ia optimistis, Jakarta dapat menjadi model nasional pengelolaan sampah berbasis komunitas keagamaan. Pesantren dan majelis taklim tidak hanya sebagai pusat pendidikan dan dakwah, tetapi juga sebagai laboratorium inovasi lingkungan hidup.
Peran Strategis DLH DKI Jakarta
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menyebut kerja sama dengan PWNU ini merupakan langkah strategis dalam memperluas edukasi dan praktik pengelolaan sampah, khususnya pengolahan organik melalui teknologi ramah lingkungan.
DLH akan menyediakan pelatihan dan pendampingan teknis, salah satunya melalui metode biokonversi maggot, yang terbukti efisien dalam mengolah sampah organik sekaligus menghasilkan produk bernilai ekonomi.
“Kami mendukung penuh kolaborasi ini karena sejalan dengan visi pengelolaan sampah berkelanjutan yang tidak hanya mengurangi beban TPA, tapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat," ujar Asep.
Menurut Asep, edukasi tentang pemilahan sampah sejak dari rumah merupakan kunci utama keberhasilan pengelolaan sampah di perkotaan. Melalui pendekatan berbasis komunitas, pesan-pesan penting ini dapat menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas dan tumbuh menjadi gerakan akar rumput.