Jakarta Tiru Paris dan Bangkok Tangani Polusi Udara

JAKARTA — Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta akan meniru kota-kota besar dunia seperti Paris dan Bangkok dalam menangani polusi udara. Upaya ini mencakup peningkatan jumlah sensor pemantauan kualitas udara serta keterbukaan data sebagai dasar kebijakan berbasis sains. Dalam diskusi yang digelar Senin (17/3), DLH DKI Jakarta mengundang BMKG, BRIN, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization) untuk membahas strategi menghadapi penurunan kualitas udara saat musim kemarau. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menegaskan bahwa Jakarta perlu memiliki sistem pemantauan udara yang lebih canggih seperti kota-kota besar dunia. “Belajar dari kota lain, Bangkok memiliki 1.000 stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU), Paris memiliki 400 SPKU. Jakarta saat ini Jakarta sudah memiliki 111 SPKU dari sebelumnya hanya 5 unit. Ke depan kita akan menambah jumlah sensor agar bisa melakukan intervensi yang lebih cepat dan akurat,” ungkapnya. Ia juga menekankan bahwa keterbukaan data menjadi langkah penting dalam memperbaiki kualitas udara secara sistematis. “Kita harus lebih terbuka dalam menyampaikan data polusi udara agar intervensinya bisa lebih efektif. Yang dibutuhkan bukan hanya intervensi sesaat, tetapi langkah-langkah berkelanjutan dan luar biasa dalam menangani pencemaran udara,” lanjut Asep. DLH DKI Jakarta menargetkan penambahan 1.000 sensor kualitas udara berbiaya rendah (low-cost sensors) agar pemantauan lebih luas dan akurat. Dengan upaya ini, sumber pencemaran dapat terdeteksi lebih jelas, termasuk bagaimana polutan dari luar Jakarta masuk ke wilayah Ibukota. Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara BMKG, Taryono Hadi menyatakan bahwa fenomena El Niño tidak terjadi secara global tahun ini. Akibatnya, musim kemarau di Indonesia yang biasanya dimulai pada awal April diperkirakan akan mundur hingga akhir bulan. Puncak musim kemarau yang seharusnya terjadi lebih awal kini diprediksi mencapai intensitas tertinggi pada September. "Kami melihat adanya pergeseran pola musim kemarau tahun ini. Jika biasanya berlangsung lebih cepat, kini musim kemarau diperkirakan mulai lebih lambat dan puncaknya bergeser ke bulan September," ujar Taryono. Ia juga menyoroti bahwa curah hujan memiliki peran penting dalam mengurangi polusi udara. Pada bulan-bulan kering seperti Juni hingga Agustus, kualitas udara di Jakarta cenderung memburuk karena meningkatnya polutan di atmosfer. "Saat curah hujan rendah, partikel polusi sulit terurai, sehingga konsentrasi polutan seperti PM2.5 meningkat tajam," jelasnya. Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Puji Lestari, mengungkapkan bahwa polusi udara di Jakarta sebagian besar berasal dari aktivitas industri yang tersebar di wilayah Jabodetabek. “Sektor industri, termasuk pembangkit listrik dan emisi karbon monoksida (CO), masih menjadi kontributor utama pencemaran udara, diikuti oleh emisi dari kendaraan penumpang. Selain faktor internal, kondisi udara di Jakarta juga dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya yang turut berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara,” jelasnya. Menurut Prof. Puji, interaksi antara berbagai sumber pencemaran ini menyebabkan tingkat polusi di Jakarta semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi lintas wilayah serta pendekatan berbasis data yang lebih terbuka untuk mencapai perbaikan yang signifikan dalam kualitas udara Jakarta.